![]() |
Menolak Pemimpin Kafir |
Tidak salah lagi. Kecepatan pemerintah dalam mewacakan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terkait dengan kekalahan Ahok dalam pilkada DKI Jakarta. Gara-gara HTI menyuarakan haram pemimpin kafir, calon yang diusung oleh partai berkuasa tersebut gagal.
.
Tentu mereka marah luar biasa. Mumpung masih berkuasa, inilah moment yang tepat untuk menghukum HTI. Karena, jika dibiarkan, nanti-nanti di pilkada lainnya pemimpin kafir yang diusung partai berkuasa juga akan menemui nasib yang sama. Gagal total.
.
Kemarahan itu dikarenakan terminologi “kafir” dianggap isu SARA. Siapa yang mengusung istilah ini, dituduh memecah belah negara yang dihuni warga beraneka agama. Padahal sejak zaman Rasul kata kafir itu memang merujuk pada nonmuslim. Allah yang mengajarkan, bukan HTI. Bukan pula buatan umat Islam sendiri.
.
Gara-gara isu kafir, masyarakat terpolar dua. Pendukung Ahok vs penentangnya. Ketika Ahok bereaksi dengan pidato penistaan agama di Pulau Seribu, bertambah gaduhlah nusantara. HTI dianggap dalang semuanya. Karena kekuatan opini “haram pemimpin kafir” dan ditambah isu “Ahok penista agama” telah menyatukan sikap umat Islam.
.
Hasilnya, Ahok dihukum dan kalah pula dalam pilkada. Ibarat jatuh, tertimpa tangga. Modal sudah terlanjur dikeluarkan. Pemodal tentu saja tak terima. HTI pun segera dicari-cari kesalahannya. Berdalih membahayakan NKRI dan Pancasila, penguasa pun mendapat bisikan tentang bahayanya ide khilafah yang diusung HTI.
.
Ide ini dikhawatirkan akan membuat Indonesia menjadi “seragam” dan menghilangkan “keberagaman”. Indonesia akan diislamisasi. Akan diterapkan syariat Islam yang umumnya hanya dipahami sebatas potong tangan, rajam, dan qishos.
.
Dikira, kalau Islam diterapkan orang kafir akan teraniaya. Didiskriminasi. Tidak dilindungi. Orang Kristen, Hindu, Budha, Konghuchu, Yahudi, dll akan dipaksa masuk Islam. Kalau tidak mau, akan dimusnahkan. Sehingga, jika di Indonesia akan diterapkan syariat Islam, niscaya akan terjadi pertumpahan darah. Peperangan seperti di Syuriah atau Afghanistan.
.
Tentu, kekhawatiran seperti ini sangat tendensius. Menunjukkan ketidakpahaman konsep syariat Islam dan Khilafah itu sendiri. Kita maklum. Ini karena saking jauhnya sejarah penerapan Islam di era Khilafah yang terakhir runtuh 1924, sampai hari ini. Sejarah yang sengaja ditutupi oleh dunia. Dijauhkan dari benak umat Islam.
.
Jangankan nonmuslim, yang muslim sendiri pun tidak memahami sejarah Khilafah dan konsep syariat Islam kafah. Terlebih, tidak memahami dalil-dalil kewajiban penegakannya (yang di buku fikih dan kitab-kitab klasik bertebaran). Bahkan, upaya menegakkannya dianggap omong doang. Utopis. Mimpi.
.
Terlebih, saat ini, tidak ada model konkret tentang penerapan Khilafah. Kebanyakan negara Islam diidentikkan dengan Arab Saudi, Iran atau negeri-negeri Timur Tengah lainnya. Padahal sebagai sebuah konsep, ide Khilafah belum diterapkan secara totalitas oleh negara manapun. Arab Saudi pun tidak mengklaim Kekhilafahan, melainkan kerajaan.
.
Bagaimana dengan Khilafah ala ISIS yang begitu menakutkan dunia? Sudah banyak pakar yang menganalisa, bahwa kelahiran ISIS disinyalir dibidani Barat (kapitalis) untuk mencitra-burukkan ide agung Khilafah. Supaya dunia takut, “begini lo, model Khilafah jika diterapkan. Barbar.” Maka, umat Islam sendiri yang tidak paham konsep pun dibuat ketakutan. Alih-alih mempelajari dan mendukung ide khilafah, malah menganggap itu ide membahayakan.
.
Nah, peran HTI selama ini hanya menjelaskan dan mengedukasi masyarakat tentang konsep-konsep syariat Islam secara gamblang. Bagaimana ketika Islam tegak nanti, seluruh syariah bisa diterapkan dalam seluruh lini kehidupan. Ada sistem sosial (nizom ijtima'i), sistem ekonomi (nonriba, soal kepemilikan harta, baitul maal, dll). Sistem hukum, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Jadi, syariat Islam itu bukan melulu masalah potong tangan dan rajam. Itu terlalu sempit.
Saat ini, semangat berislam umat semakin mekar. Hijab sudah jadi fenomena. Pengusaha tanpariba sudah tobat di mana-mana. Bank syariah jadi alternatif transaksi di dunia usaha. Tapi, ini baru sebagian kecil dari syariat Islam. Bagian kecil ini belum mampu mengcounter debu-debu kapitalisme yang semakin merusak umat manusia.
.
Contoh nyata, kemaksiatan merajalela. Seperti pergaulan bebas, LGBT, korupsi, narkoba, pornografi, kerusakan alam, dll. Semua terjadi karena diterapkannya ideologi kapitalis sekuler yang memang secara azas berbeda jauh dengan konsep Islam. Sistem yang sudah rapuh dan tambal sulam.
.
Ideologi sekuler ini gagal menerapkan konsep hidup yang membawa kesejahteraan, keadilan, kesejahteraan dan keberkahan karena tidak menjadikan agama sebagai pedoman. Makanya manusia tidak takut pada Tuhan. Tidak punya aturan baku tentang tata pergaulan yang sehat, hukum yang adil, pendidikan yang mampu mencetak orang baik dan benar, dsb.
Inilah tantangan dakwah. Masih banyak umat Islam dan nonislam yang salah kaprah tentang Khilafah. Tantangan yang bukan hanya milik HTI, tapi juga elemen Islam lainnya. Islam harus mampu menjawab tantangan: bagaimana sistem Islam melalui Khilafah lebih baik daripada sistem sekuler kapitalis yang kini diterapkan dunia.
.
Dakwah yang mampu menjelaskan bahwa sistem Islam adalah solusi yang mampu menjamin kehidupan manusia menjadi lebih bermartabat. Juga, memahamkan konsep Islam dalam memperlakukan warga nonmuslim. Islam menaungi keberagaman, sebagaimana Rasulullah SAW menaungi Yahudi, Nasrani, dll. Juga, saat sebagian warga dunia –termasuk sebagian Eropa-- berondong-bondong masuk Islam di bawah naungan Khilafah di era kegemilangannya.
.
Ketika khilafah tegak, nonmuslim justru akan diayomi. Mendapat kesejahteraan dan keadilan. Mendapat hak-hak yang setara. Tentu ada pengecualian terkait kedudukannya sebagai warna negara, semisal haram menjadi pemimpin negara. Hal ini suatu kewajaran, karena untuk menerapkan sistem Islam, tentu yang paling paham adalah pemimpin Islam itu sendiri.
.
Jadi, sebenarnya sesederhana itu logikanya. Ahok kalah HTI dibelah. Tetapi, konsekuensinya tidak akan sederhana. Dan sangat disayangkan, mengapa level penguasa yang notabene politikus dan negarawan, “hanya” sesederhana itu cara berpikirnya. Seolah tidak memiliki pandangan global, melainkan –lagi-lagi-- hanya mampu membuat blunder dan kegaduhan.(*)
.
Oleh: Kholda Naajiyah
Bogor, 13 Mei 2017.
Penulis, Kontributor Tabloid Media Umat
EmoticonEmoticon