![]() |
Tuhan Pun Berpuasa |
Berpuasa adalah latihan menahan di tengah kebiasaan menumpahkan, atau mengendalikan di tengah tradisi melampiaskan. Kebahagiaan hidup ini memang sangat ditentukan oleh kemampuan mengendalikan. Itulah kenapa segala sikap berlebihan dilarang dalam Islam (QS Al-Isra’: 26) dan pelakunya dikategorikan sebagai sahabat setan (QS Al-Isra’: 27). Bahkan, musabab terusirnya Nabi Adam dari surga adalah karena tidak mampu mengendalikan dari memakan buah larangan.
Kemampuan berpuasa, dalam makna lebih luas, sangat menentukan selamat-tidaknya manusia di dunia ini dan akhirat kelak. Kita diasumsikan mampu bersikap "tidak" terhadap sesuatu yang berposisi "iya". Tentu itu perlu latihan. Fakta membuktikan, mengendalikan ternyata lebih susah ketimbang melampiaskan. Sebagai contoh, terhadap perintah ibadah kita taat, tetapi masih berat meninggalkan maksiat. Kita terlalu mudah tertipu oleh kesenangan semu sembari mengorbankan kebahagiaan hakiki. Munculnya perilaku koruptif, culas, curang, munafik, dan semacamnya jelas karena kita lebih gemar melampiaskan daripada mengendalikan.
Dunia hancur karena kita tidak pernah kenyang oleh dunia. Kita terus berpacu memburu dunia hingga menutup mata. Padahal Allah sudah mengingatkan, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke liang kubur. Jangan begitu, kelak kamu akan mengetahui akibat perbuatanmu itu. Dan jangan begitu, kelak kamu akan mengetahui. Jangan begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, maka kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim. Dan sungguh kamu benar-benar akan melihatnya dengan yakin. Lalu kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan yang kamu megah-megahkan di dunia.” (QS At-Takatsur: 1-8).
Ramadhan seharusnya menjadi momentum untuk latihan berpuasa dari dunia. Sebulan penuh kita digembleng untuk tidak keok oleh dunia. Sejarah mencatat, pribadi-pribadi besar adalah mereka yang mampu mengatasi dunia. Etos berpuasa mereka sangat dahsyat. Nabi dan Rasul berpuasa dari kenyamanan pribadi demi menegakkan kalam Ilahi. Wali Allah berpuasa dari nafsu duniawi demi mengintimi Kekasih Sejati. Pemimpin berpuasa dari hak diri demi membela yang tersakiti. Pahlawan berpuasa dari riang demi membela yang malang. Dermawan berpuasa dari kepemilikan demi menghidupi yang kekurangan. Ulama berpuasa dari kemapanan demi melejitkan peradaban.
Tidak ada yang bisa diharapkan dari tradisi melampiaskan selain kehancuran. Melalui Al-Qur’an, tidak kurang Allah memberitakan kejatuhan fisik, moral, dan spiritual bangsa-bangsa terdahulu akibat kegemaran melampiaskan sampai melanggar batas kewajaran. Ditegaskan Allah, “Itulah sebagian berita negeri-negeri (yang telah dibinasakan), yang Kami ceritakan kepadamu. Di antara negeri-negeri itu ada yang masih kedapatan bekas-bekasnya dan ada pula yang sudah musnah.” (QS Hud: 100-101).
Semoga kaum beriman senantiasa dapat memetik pelajaran dari kisah-kisah yang disajikan dalam Al-Qur’an. Karena, sebagaimana telah dinyatakan Allah, “Kitab Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS Al-Baqarah: 2-4). Dengan demikian, spirit yang menjiwai perintah berpuasa harus mampu kita terjemahkan dalam pengalaman hidup keseharian.
Alangkah sedih ketika berpuasa kita pahami sebatas aktivitas meninggalkan makanan, minuman, dan bersebadan selama Ramadhan. Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menjalankan prinsip mengendalikan. Allah sendiri telah menunjukkan contoh luar biasa perihal sikap mengendalikan. Betapa tidak, kita selalu dihujani nikmat meski berulang kali mengufurinya. Kita juga masih ditaburi berkah meski sekian kali menyia-nyiakannya. Dalam bahasa Emha Ainun Nadjib, Allah pun "berpuasa". Tidak bisa dibayangkan seandainya Allah kemudian "mokel" lantas menimpakan azab dahsyat atas dosa-dosa kita yang tidak terhingga banyaknya.
Tulisan Oleh : M. Husnaini
EmoticonEmoticon