Jumat, 30 Juni 2017

Cari Ilmu Kok Di Sekolah, Sekolah Bukan Tempat Cari Ilmu

Ilmu, kata Emha Ainun Nadjib, tidak bisa diberikan. Ilmu hanya bisa dicari dan ditemukan sendiri.

Pernyataan budayawan kondang itu benar adanya. Buktinya, banyak orang sekolah tinggi-tinggi hingga gelarnya berderet, namun kemampuannya mengatasi masalah tidak jauh beda dengan orang kebanyakan. Karismanya di masyarakat juga tidak lebih hebat dibanding yang hanya lulusan pesantren.

Mencari ilmu di sekolah atau di kampus itu ibarat mencari obat di kantor polisi. Tidak akan ketemu. Ini juga masih kata Cak Nun. Sebab, sekolah dan kampus tidak pernah memberikan ilmu, tetapi sekadar alat untuk mencari ilmu.

Saya sendiri sering menyampaikan kepada siswa dan mahasiswa, kuliah sampai doktor sekalipun tidak menjamin kita berhasil meraih ilmu. Apalagi jika cara kita menempuh pendidikan formal itu hanya mencukupkan diri dengan apa yang diberikan guru atau dosen di kelas. Sedikit sekali yang akan kita dapat, jika begitu cara kita belajar.

Ilmu hanya akan diraih oleh orang yang di dalam dada dan kepalanya bergemuruh semangat ingin mencari tahu sesuatu, kendati mungkin dia hanya lulusan SD/MI.

Saya memiliki beberapa teman yang tidak lama mengenyam bangku sekolah, tetapi ilmu mereka boleh diadu dengan yang lulusan magister atau master sekalipun. Utamanya jika menyangkut hikmah kehidupan. Mereka ini sangat haus akan pengetahuan baru. Kuat membaca, serius berpikir, dan rajin menuliskannya, sehingga hati dan akal mereka terus menyala. Sementara, tidak sedikit alumnus perguruan tinggi kita, bahkan setingkat doktoral, yang saban hari menjalankan rutinitas kerja tanpa gairah meng-upgrade pengetahuan.

Sekarang ini, entah kenapa, tidak susah menemukan sarjana, magister atau master, bahkan doktor, yang minim membaca. Paham betul hanya urusan teknis menyangkut pekerjaan mereka. Tetapi, begitu sudah menyinggung soal pemikiran atau perkembangan dunia ilmu dan buku, mereka tiba-tiba menjadi sama sekali awam.

Bahkan, ada di antara orang-orang terpelajar itu yang bilang--dan ini sangat ironis--bahwa membaca adalah obat tidur. Maksudnya, kalau ingin cepat tidur, silakan membaca. Innalillahi.

Saya tidak membayangkan kalau generasi mendatang, yaitu anak-anak kita, diajar oleh guru atau dosen yang berpikiran demikian. Boro-boro mampu menulis--sebagai salah satu ukuran keilmuan--kalau membaca saja ogah. Dan, menurunnya semangat membaca sudah pasti meningkatnya budaya berkomentar.

Dari situlah, sebenarnya, awal mula munculnya hoax dan debat kusir, hingga kekerasan verbal di media sosial. Karena, orang yang enggan membaca, biasanya juga malas berpikir, sehingga kebanyakan yang keluar dari lisannya adalah waton suloyo.

Cara nulis pesan di WhatsApp dan SMS juga menunjukkan kualitas keilmuan kita. Masa seorang berpendidikan tinggi menggunakan bahasa alay dengan penempatan titik, koma, dan tanda baca yang tidak jelas.

Jalan menuju ilmu, setidaknya, dapat dimulai dengan tekun membaca. Tidak ada ceritanya orang berilmu yang tidak membaca. Mukjizat terbesar saja Al-Quran, bukan tongkat, kapak, seruling, dan semacamnya. Al-Quran itu bacaan. Hadis-hadis Rasulullah yang semula tidak boleh dituliskan, sekarang semua tersedia dalam bentuk kitab, tidak lain supaya bisa kita baca.

Setelah membaca, biasakan berpikir. Kalau ada sesuatu yang baru, jangan langsung ditolak, tetapi jangan pula segera ditelan. Yang harus kita lakukan adalah mencari ilmu dulu tentang sesuatu itu, barulah kita menentukan sikap. Tidak baik serta-merta berkomentar begini dan begitu, kemudian menyebarkan sesuatu yang kita sendiri belum mendalami hakikatnya. Saya kira, itu bukan sikap orang berilmu.

Tidak kalah penting, jangan remehkan apa pun di depan kita. Ilmu dan hikmah itu acap kali datang dari sesuatu atau seseorang yang boleh jadi kita anggap biasa-biasa saja. Sering saya menemukan ide tulisan dari hasil obrolan ringan atau ceramah di masjid. Karena itu, setiap membincangkan atau mendengarkan sesuatu, saya berusaha serius. Bahkan, tidak jarang saya catat di HP, karena inspirasi-inspirasi dari situ biasanya lalu saya kemas menjadi tulisan.

Saya kira, masih banyak jalan menuju ilmu. Sifatnya harus saling melengkapi. Yang penting, radar hati dan jaringan akal ini terus on untuk menangkap sinyal-sinyal ilmu setiap waktu. Orang berilmu akan terus merasa bodoh, dan hanya orang bodoh yang selalu merasa diri sudah berilmu.


EmoticonEmoticon