Senin, 19 Juni 2017

Semangat Bersekolah Meningkat Tajam, Semangat Belajar Menurun Drastis

Semangat Sekolah

Judul di atas adalah fakta pendidikan dalam masyarakat kita, yaitu Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Jika di Indonesia tempoe doeloe, sedikit sekali orang yang berminat untuk sekolah, kini keadaannya telah berubah. Semangat bersekolah di zaman sekarang ini telah meningkat tajam. Tidak sedikit yang mencapai jenjang doktor, bahkan. Lelaki maupun perempuan, setali tiga uang.
Namun, semangat bersekolah itu ternyata belum diikuti dengan semangat belajar. Bahkan, dalam pengamatan saya, boleh dibilang, semangat belajar kita hari-hari ini justru menurun drastis. Minimal, jika dibandingkan dengan semangat belajar orang-orang tempoe doeloe.
Jika kita membaca sejarah munculnya pesantren, tentu akan semakin benderang persoalannya. Para santri dulu berdatangan ke rumah kiai untuk menimba ilmu. Karena tidak semua santri itu datang dari desa di sekitar kiai berada, dipastikan mereka butuh penginapan agar tidak kesulitan pulang-pergi menemui kiai. Kemudian, para santri itu membuat pondok-pondok di sekitar rumah kiai. Di situlah mereka tinggal selama menuntut ilmu kepada kiai bersangkutan hingga dinyatakan lulus. Pondok-pondok tempat para santri menetap sementara selama belajar itulah yang dinamakan pesantren, alias tempat santri.
Sekarang ini, adakah semangat belajar dari generasi muda kita sekuat itu? Saya kira tidak. Bahkan, di sekolah-sekolah kita, belajar itu seolah bukan kebutuhan murid. Justru yang kipu awu untuk mendorong murid-murid serius dan tekun belajar adalah guru. Yang di perguruan tinggi pun tidak jauh beda. Apalagi mereka yang menempuh kuliah pada usia matang atau tua. Tugas-tugas kuliah malah dikerjakan sambil lalu saja. Skripsi, tesis, dan disertasi, tidak jarang, dikerjakan secara asal-asalan. Bahkan, ada yang sampai berani membeli, alias membayar orang lain untuk mengerjakan tugas akhirnya itu, dan dia sendiri hanya terima jadi.
Pasti masih banyak murid dan mahasiswa yang tidak demikian. Mereka benar-benar serius belajar. Demikian pula, banyak kampus kita yang begitu teliti menangani pendidikan, sehingga tidak menoleransi praktik-praktik curang tersebut. Namun demikian, kata pepatah Jawa, tentu lebih cerdik malingnya ketimbang polisinya. Maksudnya, selalu muncul murid-murid memble dan mahasiswa-mahasiswa sontoloyo, yang memasuki kelas pendidikan formal hanya sebatas ingin dapat ijazah, dan pusing amat terhadap perolehan ilmunya.
Bukti lain, berapa di antara kita yang gemar membaca. Utamanya di era gadget ini, rupanya kita lebih senang utak-atik HP dibanding menenteng buku dan serius membacanya. Saya sering bilang, di zaman ini, lebih mudah mendapati pembicara daripada pembaca. Misalnya, mudah menemukan orang yang bisa ceramah di suatu kampung, namun mencari pembaca, apalagi penulis, di kampung yang sama, belum tentu nemu dua.
Kecanggihan era digital tidak mampu mendongkrak gairah belajar, tetapi justru meninabobokannya. Lihatlah grup-grup WhatsApp, misalnya. Di sana, tampak jelas bahwa kebanyakan kita sangat malas membaca dan lebih semangat menge-share. Postingan yang belum, bahkan tidak dibaca, langsung disebarkan sana-sini. Dari situlah awal mula munculnya hoax.
Menurunnya semangat membaca juga meningkatnya minat berkomentar. Karena itu, jangan heran jika media sosial kita, setiap hari, diwarnai debat kusir, dan bukan diskusi demi benar-benar mencari kebenaran. Bagaimana mau diskusi, wong kita tidak membaca dan juga malas berpikir. Komentar juga waton suloyo. Yang SMP saja tidak lulus, misalnya, merasa selevel untuk mendebat tokoh dan ulama besar disertai cacian-cacian kasar di dunia maya.
Fenomena saling hujat di dunia maya, dan juga di mana saja, sebenarnya dipicu oleh hadirnya orang-orang yang malas belajar ini. Mereka tidak membaca, tidak berpikir, apalagi menulis, tetapi semua perosalan selalu dia komentari. Jika merujuk penggolongan empat manusia menurut Imam Ghazali, mereka ini adalah tipologi manusia yang "la yadri annahu la yadri", tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu.
Itulah tipologi manusia yang gagal paham. Termasuk tipologi itu adalah siapa saja yang suka bilang bahwa membaca hanya bikin ngantuk. Kalau Anda menjumpai orang-orang yang berpendapat demikian, siapa pun orang itu dan apa kedudukan serta jabatan dia, waspadalah. Termasuk hati-hatilah juga bila berjumpa dengan orang yang berkukuh bahwa membaca itu hanya tugas anak sekolah.
Saatnya kita gelorakan budaya belajar. Membaca, berpikir, berdiskusi, hingga menulis harus menjadi tradisi. Pelan tetapi pasti, kita kikis pencapaian jenjang pendidikan yang hanya berorientasi kepada gelar. Gelar pendidikan penting, tetapi jangan lupa bawa pulang juga ilmunya. Begitu pentingnya budaya belajar ini, hingga dalam perintah jihad ke medan laga yang pahalanya begitu utama itu, Allah masih menyuruh sebagian kita untuk tetap tinggal di rumah guna memperdalam ilmu.
"Tidak sepatutnya bagi Mukminin itu pergi semua ke medan perang," tegas Allah dalam surah At-Taubah/9: 122. "Mengapa setiap golongan dari mereka tidak berangkat beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan kemudian memberi peringatan kepada golongan yang pergi berperang itu apabila mereka nanti telah kembali, supaya mereka dapat menjaga diri?"

Oleh : M Husnaini


EmoticonEmoticon