Rabu, 23 Agustus 2017

Minim Biaya, Begini Kisah Perjuangan Kuliah Master Hingga Doktor Ke US




Setiap kita pasti punya saat dimana kita merasa itu titik penting dalam hidup kita. Saya mempunyai beberapa tapi ada kisah yang mungkin bermanfaat. Saya yakin Anda pasti juga punya. Dulu, tahun 1997 , saya kuliah master ke US atas beasiswa pemerintah lewat hutangan dari ADB (jadi saya ikut menikmati hutang). Keberangkatan saya juga serba kebetulan. jatah beasiswa untuk dosen di jurusan saya sudah habis. namun ada limpahan beasiswa dari PTN di luar Jawa yang tidak terpakai karena tidak ada calon yang memenuhi syarat TOEFL atau surat penerimaan dari Universitas di LN. Di institusi saya bekerja, ditawarkan siapa yang sudah punya letter of admission (LOA) bisa berangkat dulu. Maka saya berusaha sejak sebelum itu untuk mencari sekolah di US. Tes GRE dan aplikasi saya kirim ke beberapa Uni, dan kebetulan satu universitas membalas paling cepat. ketika menerima surat pemberitahuan diterima itu, saya seperti menerima tiket ke surga (masa depan yang cerah). Ya saya masih ingat bagaimana surat penerimaan warna coklat muda di depan pintu mess itu membuat saya berbunga-bunga. Segera saya lapor ke institusi untuk bisa diproses.

Usai Studi master, saya nekat meneruskan program doktor. Karena kalau sudah pulang ke Indonesia dan menerima berbagai tanggungjawab, akan sulit lagi memulai dari awal untuk lanjut doktor. Maka Semester 1 program doktor saya jalani dengan nekat membiayai sendiri. Sungguh berat ternyata sekolah ke LN dengan biaya sendiri. satu semester uang USD 6,000 habis. Itu juga sudah dibelain kerja di restoran China dengan pekerjaan mencuci piring , motongin daging, ngepel lantai atau memasak nasi. Semua dicoba asal bisa menambah uang. 

Pernah suatu saat, saat akan membayar SPP/tuition fee untuk study S3 saya, saya mendapati kenyataan bahwa USD 1000 atau USD 2000 tagihan saya sudah dibayar. Saya tidak pernah tahu siapa yang membayar dan sampai sekarang saya menduga yang membayar adalah lembaga yang mengurusi beasiswa S2 saya dulu.
Libur semester saya pulang, libur summer , hampir 3 bulan. Istri dan anak di Medan. Pulang pas istri akan melahirkan anak kedua.
Usai anak lahir, saat harus kembali. Saat yang membuat pusing, anak dua. uang hasil hutang juga sudah habis. sementara harus kembali ke US. Membayangkan akan menghabiskan berapa lagi kalau dikalikan jumlah semester untuk program doktor yang tidak tahu kapan akan selesai. Orang tua saya juga bukan orang yang mampu, begitu pun mertua tidak mungkin diminta membiayai kami yang sudah berkeluarga. Dan jumlahnya tidak sedikit.

istri menyarankan saya menulis email ke profesor yang saya merasa paling dekat. Entah apa profesor itu merasa dekat dengan saya :). memberitahukan bahwa saya butuh biaya untuk melanjutkan kuliah.
Dengan ragu-ragu saya berangkat ke warnet. Entah apa yang mau saya tulis. Begitu banyak pesaing dari China, Korea, India, dan negara lain yang mau jadi asisten riset atau asisten mengajar. Dengan nekat saya menulis sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya dan tentu saja meyakinkan bahwa saya pantas diberi posisi sebagai asisten.

Pulang dari warnet dengan rasa malu memikirkan apakah profesor itu akan mempertimbangkan saya atau menertawakan saya, mengingat prestasi saya tidak menonjol di semester 1 kuliah doktor saya. Dengan harap-harap cemas atau harap-harap takut(?), hari berikutnya saya datang lagi ke warnet. membuka email. Jreng....ada balasan dari profesor itu.

saya baca dengan cepat dengan perasaan tidak karuan, campur aduk.....nadanya positif. Saya disuruh datang dan kita bicarakan posisi asisten dan bantuan dana, begitu katanya.
Pulang saya kasih tahu istri. Saya masih belum merasa aman karena hanya dijanjikan untuk diajak bicara. Bukan jaminan dapat bantuan dana. Saya pun berangkat ke US.

Saat tiba di kampus dalam keadaan ngantuk, segera saya duduk di kursi skretariat school of IE. Profesor itu lewat dan melihat saya, menyapa ramah , mengajak saya ke ruangannya. Deal..saya dikasih assitantship...kira2 USD400 per bulan dengan penunjukkan 0.25, bekerja 10 jam, bukan asisten penuh. hanya separuh.

Saya berusaha menawar dengan segala keberanian. Maka profesor pun setuju saya ditunjuk sebagai asisten dengan skema 0.5 , artinya harus bekerja 20 jam seminggu dengan gaji 2x lipat, dapat asuransi kesehatan dan SPP dipotong sangat besar..sangat murah.

Oh..betapa senangnya, syukur tak terhingga..Namun ada kewajiban, saya harus mampu menulis satu paper untuk dipublish ke jurnal di akhir semester. Dengan kenekatan tingkat tinggi kujawab :ok...jawaban khas anak desa modal nekat yang tidak pernah menolak rejeki!

Waktu berlalu. Akhir semester dihasilkan satu paper setelah melewati perjuangan mengekstrak data dari radar yang terekam di kaset, menghubungi programmer handal di departemen lain, diolah jadi text format lalu diproses dengan data mining tool untuk meramal hujan di Oklahoma.
Singkatnya nasib membaik. Keluarga bisa diajak. Cerita nasib baik, kenekatan, keberuntungan dan kebaikan orang berlanjut. 

Itulah titik penting dalam hidup, ketika anak kedua lahir, ada rejeki yang tidak terkira...apakah benar anak membawa rejeki?


EmoticonEmoticon