Rabu, 19 Juli 2017

KH. Ahmad Basyir Abdullah Sajjad, Akui Aku Sebagai Murid dan Santrimu

Wafatnya Beliau, Duka Bagi Umat

Dari beliau, penulis belajar tafsir Al-Qur'an, bidang yang belakangan penulis geluti.

Dari putranya, Kiai Abd A'la, penulis belajar tak langsung "ilmu menulis", memanfaatkan perpustakaannya yang cukup melimpah. Dari koleksi perpustakaannya, sewaktu mondok, penulis dapat mengakses literatur-literatur Barat modern dan memfotokopinya -- suatu "kemewahan" di tengah pondok yang biasa bergelut dengan kitab kuning saja. Kebiasaan memfotokopi literatur ini kemudian berlanjut di perpustakaan Seminari Yogyakarta.

Intinya, keluarga besar K. Ahmad Basyir Abdullah Sajjad telah menjadi ibarat "madrasah pemikiran" bagi penulis.

"Madrasah" ini pernah berlangsung dengan "dialektika"-nya sendiri. Pernah dari gesekan literatur itu, penulis tertarik dengan tema "pembaruan Islam" yang diusung oleh Bediuzzaman Said Nursi, pemikir dan ulama Kurdi yang mewarnai pemikiran Turki abad ke-20. Ketertarikan ini dipicu oleh klaim Kurzman dalam "Liberal Islam" yang mengklaim gagasan-gagasan Nursi meletakkan dasar bagi Islam liberal di Turki. Dua artikel panjang tentang Nursi kemudian terbit di majalah "Aula" milik NU, berturut-turut.

Lalu beberapa bulan kemudian, dalam suatu acara, Kiai Basyir menyitir tentang ketidaksetujuannya atas ide "pembaruan Islam". Bagi beliau, tidak ada yang perlu diperbarui dari Islam. Entah apakah pernyataan itu merespons tulisan penulis di majalah "Aula" atau tidak, tapi sepertinya iya. Penulis hanya menyimak, dengan sedikit rasa terkejut tak menyangka dapat tanggapan seperti ini. Diam-diam sepertinya beliau cukup aktif mengikuti perkembangan wacana pemikiran Islam di media, walaupun tak semua disetujuinya. Tak segan-segan beliau akan mengutarakan kritiknya.
Kepergiannya merupakan kehilangan besar. "Kiai, walaupun mungkin pendapatku pernah tak berkenan bagimu, tetap akui aku sebagai murid dan santrimu, 'dunyan wa ukhron'."


EmoticonEmoticon