Senin, 02 Oktober 2017

Wahai Ustadz, Kami Enggan Dikafir-Kafirkan!


Kisah berikut saya adaptasi dari buku "Anekdot dan Kenangan Lepas tentang Pak AR" karya M Sukriyanto AR. Sekitar tahun 1967/1968, KH AR Fachruddin diminta mengisi pengajian rutin setiap Rabu di sebuah kampung bernama Ledok Ratmakan di lembah sungai Code. Oleh ulama yang karib disapa Pak AR itu, permintaan dipenuhi. Jadilah namanya Pengajian Reboan.

Seiring waktu, tidak terasa pengajian sudah berjalan hampir dua tahun. Pak AR lantas mengusulkan kepada pengurus supaya mencari mubalig baru sehingga ilmu jamaah lebih luas dan mereka tidak merasa bosan. Usulan dari Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1968-1990 itu disetujui, dan segera pengurus mencari mubalig pengganti.

Ketemu. Sebut saja Ustadz Dinar (Tentu bukan nama asli). Mubalig cukup kondang itulah yang kemudian menggantikan Pak AR untuk mengisi Pengajian Reboan. Tiba-tiba, selang satu bulan, pengurus datang lagi kepada Pak AR. Mereka meminta beliau supaya mengisi Pengajian Reboan.

“Loh, bagaimana? Kenapa saya harus mengisi pengajian di sana lagi?” tanya Pak AR.
Pengurus menjelaskan, “Begini, Pak AR. Setelah pengajian diisi oleh Ustadz Dinar, jamaah kita menjadi berkurang. Bahkan, Rabu kemarin, yang datang tinggal dua orang, sementara Ustadz Dinar sendiri tidak mau mengisi karena jamaahnya cuma segitu.”

“Wah, kenapa bisa berkurang?” Pak AR penasaran.

“Karena, ketika mengisi pengajian, Ustadz Dinar sangat keras. Banyak jamaah kita yang merasa dikafir-kafirkan, dizalim-zalimkan, dan difasik-fasikkan. Itu loh. Beliau membaca ayat, ‘Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut syariat yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.’ Lalu zhaalimuun, lalu faasiquun. Jadi, jamaah pada takut, terus mreteli. Kami sendiri sudah menghubungi jamaah supaya aktif kembali, tetapi jawaban mereka sama: Kalau yang mengisi Pak AR, ya kami mau datang. Tetapi kalau tetap Ustadz Dinar, kami pamit saja.”

Pak AR menyimak. Kemudian, pengurus melanjutkan, “Karena itu, kami mohon supaya Pak AR bersedia mengisi pengajian lagi.”

Pak AR mengalah. Sambil mencari mubalig yang pas, beliau akhirnya berkenan mengisi Pengajian Reboan lagi.

Pesan di balik kisah tersebut sangat jelas. Penting kita camkan, tidakkah kejadian serupa juga bisa terjadi pada pengajian apa saja, di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja?

Semoga kita semua, sebagai mubalig, guru, ustadz, dan kiai mampu mengatasi persoalan keseharian umat dengan sikap bijaksana lagi bahasa sederhana.

Dakwah dengan selalu menggurui, apalagi serba menghakimi dan menyalahkan, tidak akan dapat menyelesaikan masalah. Sebaliknya, justru akan menambah beban masalah, bahkan menghancurkan ukhuwah Islamiah.


EmoticonEmoticon