Selasa, 18 Juli 2017

Kisah Jenderal Polisi dan Tawanan Yang Batal Dihukum Mati

Ilustrasi
Seorang raja dari Bani Abbasiyah memiliki tawanan yang akan dihukum mati. Raja kemudian memerintahkan jenderal polisi untuk membawa terpidana mati tersebut, keesokan harinya, untuk dieksekusi.

Sebelum eksekusi, jenderal polisi sempat berdialog dengan terpidana mati. “Anda berasal dari mana?”
“Dari Syam,” jawab terpidana mati.
“Penduduk Syam umumnya orang-orang baik,” tutur jenderal polisi. “Apakah Anda kenal dengan Fulan bin Fulan?”
“Ya, saya mengenalnya.”
Jawaban terpidana mati itu membuat jenderal polisi senang.
“Di mana keberadaannya sekarang? Saya memiliki pengalaman berkesan dan berhutang budi kepadanya.”

Jenderal polisi ingin secepatnya mengetahui keberadaan orang yang dia maksud, namun terpidana mati tersebut tidak langsung menjawabnya. Justru, dia mengajukan pertanyaan, “Mohon ceritakan pengalaman Anda dengan Fulan bin Fulan itu. Setelah itu aku akan tunjukkan keberadaannya.”

“Lebih dari dua puluh tahun yang lalu, saya pernah bertugas menjadi polisi di Syam, terjadilah kudeta, dan pemimpin kami mati terbunuh,” cerita jenderal polisi. “Saya dikejar-kejar untuk dibunuh oleh penguasa yang baru. Akhirnya, saya melarikan diri dan masuk ke sebuah rumah besar. Saya temui pemilik rumah dan memohon perlindungan darinya. Beliau tidak mengenal saya, tapi beliau langsung melindungi dan menyembunyikan saya di dalam rumahnya. Alhamdulillah, saya selamat. Saya dijamu dan dilayani dengan baik sekali.”

Terpidana mati itu menyimak, saat jenderal polisi melanjutkan cerita, “Empat bulan kemudian, setelah suasana aman, saya izin untuk pulang ke Baghdad, karena keluarga saya tinggal di sana. Tuan rumah mencarikan rombongan kafilah pedagang yang akan berangkat ke Baghdad, memberikan uang sebesar lima ratus dinar (sekitar satu miliar rupiah), menyiapkan kuda untuk tunggangan saya, keledai berisikan hadiah untuk keluarga saya dan seorang pembantu laki-laki untuk melayani saya selama perjalanan. Saya tidak akan melupakan jasa baiknya.”

Jenderal polisi mengakhiri kisahnya sambil menunggu kabar gembira dari terpidana mati.

“Orang tersebut adalah saya sendiri,” ujar terpidana mati mengagetkan jenderal polisi. Setelah dites dengan beberapa pertanyaan, yakinlah jenderal polisi bahwa terpidana mati tersebut adalah orang yang sedang dicarinya selama ini. Jenderal polisi membuka borgol dari tangan dan kaki terpidana mati, disuruhnya mandi dan diberinya pakaian serta diberinya uang seribu dinar (sekitar lebih dari dua miliar rupiah), sebilah pedang dan seekor kuda. Jenderal polisi memerintahkan terpidana mati untuk kabur dan dirinya siap menjadi tumbal dibunuh raja.

Jenderal polisi mengetahui bahwa terpidana mati tersebut tidak berhak dihukum mati. Dia hanya mengkritisi kebijakan pemerintah dan menginginkan kebaikan bagi pemerintah dan masyarakat. Hanya saja, raja menganggap bahwa sikap kritisnya itu sebagai makar dan harus dihukum mati.

Bagi jenderal polisi, seandainya ada yang salah dari terpidana mati itu, yaitu tentang cara menasihati penguasa yang dapat menimbulkan kegoncangan dan ketidakstabilan dalam negara, hendaklah penguasa dan penasihat mengevaluasi dan memperbaiki kekeliruan masing-masing. Umara dan ulama harus saling menguatkan dan tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.

Tetapi, terpidana mati menolak kabur.
“Demi Allah, saya tidak akan pergi,” tegasnya.
“Kalau Anda tidak mau kabur, saya akan memintakan maaf kepada raja,” ujar jenderal polisi memberikan solusi yang disetujui oleh terpidana mati. “Semoga saja raja memaafkan Anda.”

Keesokan harinya, jenderal polisi membeli kain kafan dan menemui raja. Raja kaget, jenderal polisi tidak membawa terpidana mati. Raja mengancam jika terpidana mati kabur, dia akan membunuh jenderal polisi. Jenderal polisi menenangkan raja, lalu menceritakan kisah hidupnya dan jasa terpidana mati itu terhadapnya.

Tanpa disangka, hati raja luluh. Dia kagum kepada jenderal polisi dan terpidana mati itu. Terpidana mati akhirnya dimaafkan. Raja memberi uang seratus ribu dirham (sekitar tiga miliar lima ratus juta rupiah) dan menawarkan jabatan penting di Syam untuk terpidana mati tersebut.

Tetapi, sekali lagi, terpidana mati menolak uang dan jabatan dengan halus, lalu pamit meninggalkan Baghdad untuk kembali ke kampung halamannya.


EmoticonEmoticon