Minggu, 29 Oktober 2017

Tentang 'MARHAEN' Pada 'SHALAWAT MARHAEN'



Ada seorang kawan petani yang bertanya, mengapa "Shalawat Marhaen" dinamai "Marhaen"? Siapa itu "Marhaen"?

Pertanyaan ini menarik sekaligus penting, karena menggambarkan bahwa:
1) Kaum Marhaen sendiri hari ini sudah tidak mengenal lagi istilah "marhaen" yang dulu diciptakan Bung Karno (BK) untuk membela kepentingan mereka. Ini akibat cuci-otak dan de-Sukarno-isasi oleh Orba.
2) Istilah "marhaen" sendiri sudah mengalami reduksi sedemikian rupa, dikesankan terkait dengan partai politik bernama PDI-P, sehingga istilah ini terkesan hanya milik trah Bung Karno atau mereka yang berasosiasi dengan PDI (zaman dulu) atau PDI-P.

Poin kedua ini adalah mitos. "Marhaen" memang kerap terdengar dari para kader politik yang mengklaim pewaris ajaran politik Bung Karno, tapi istilah ini bukan milik mereka saja. Istilah ini milik bangsa Indonesia, juga milik kaum pergerakan yang berjuang untuk tercapainya cita-cita revolusioner Sukarno. Lagi pula, siapa hari ini yang bukan "pewaris Bung Karno"? Kita selalu mewarisinya, sedikit atau banyak, diam-diam atau terang-terangan, satu dan lain cara. Kita terus membaca "Di Bawah Bendera Revolusi", dan jujur atau tidak, masih berada dalam bayang-bayang seruannya. Tak terkecuali kaum santri. Para santri diam-diam, diakui atau tidak, adalah juga Sukarnois dengan cara mereka masing-masing.

Istilah "Marhaen" didefinisikan BK sebagai gabungan "kaum proletar Indonesia", "kaum tani Indonesia yang melarat", dan "kaum melarat Indonesia yang lain-lain".

Lebih eksplisit, BK menjabarkan: "Marhaen bukanlah kaum proletar (kaum buruh) saja, tetapi ialah kaum proletar dan kaum tani melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain, misalnya kaum pedagang kecil, kaum ngarit, kaum tukang kaleng, kaum gerobag, kaum nelayan, dan kaum lain-lain".

"Marhaen" adalah cara BK melakukan pribumisasi (pembumian) atas istilah "Proletariat". Sebagaimana Gus Dur melakukan pribumisasi (pembumian) atas syariat Islam.

Akan muncul debat teoretik, khususnya dalam epistemologi Marxis, apa perbedaan "marhaen" dan "proletar"? BK tak sampai melakukan debat sejauh itu, dan jika hari ini kita mau memperdebatkannya, layak didiskusikan. Tapi kira-kira bisa dinyatakan: "setiap proletar adalah marhaen, tapi tak semua marhaen adalah proletar".

"Marhaen" lebih luas daripada "proletar", mencakup mereka yang hidup di garis semi-proletar, seperti kaum profesional (guru, dll) yang hidupnya rawan terjatuh ke dalam garis kemiskinan karena ketergantungan pada relasi upahan, artinya guru yang masih melarat hidupnya. Mencakup pula kaum yang sekarang disebut "proletar informal", mereka yang tidak hidup dari upah bulanan, tapi melarat karena hidup dalam lingkaran setan kapitalisme sebagai tenaga kerja cadangan untuk pabrik atau relasi upahan informal (kuli bangunan, pemulung, penjual kaki lima, dan lain-lain). Pada masa BK, belum dikenal itu istilah "proletar informal" seperti dalam studi sosiologi Marxis sekarang.

"Marhaen" ciptaan orisinal yang jenius. Dari seorang Muslim-Marxis Indonesia dan Nusantara yang adalah Bung Karno. Tapi ia menjadi rongsokan sejarah, karena memang tak ada rezim yang mau kaum marhaen bangkit dan sadar. Rezim yang juga menista BK menjadi sekadar asesori tiap 17 Augustus, tapi menginjak-injak warisan pemikirannya.

Shalawat ini cara penulis mensyukuri Bung Karno, sekaligus mensyukuri Nabi Pembebasan yang selalu dikagumi BK dalam setiap langkah perjuangannya, Rasulullah Muhammad, shallallahu 'alaihi wasallam.


EmoticonEmoticon