Jumat, 02 Februari 2018

Tragedi Pemukulan Terhadap KH. Umar Basri, Bahaya Laten Intoleransi

Muhasabah Kebangsaan

BAHAYA LATEN INTOLERANSI
Al-Zastrouw



Tragedi pemukulan terhadap KH. Umar Basri (ajengan Emon) saat melakukan dzikir di masjid Al-Hidayah, masjid pesantren yg diasuh sang ajengan, mengingatkan saya pada dua kejadian penting beberapa tahun lalu.

Pertama, peristiwa pengusiran Gus Dur saat memberikan ceramah pada acara diskusi di Purwakarta. Saat sedang memberikan ceramah tiba2 datang sekelompok orang berseragam putih yang secara tegas mengaku dari FPI membubarkan acara tersebut dengan cara2 yg kasar dan tak beradab. Hujatan, caci maki dan kata2 kotor ditujukan pada Gus Dur.

Hampir saja terjadi bentrok dan konflik horizontal, karena pada saat itu para Banser dan kaum muda NU sdh siap melakukan serangan balasan. Tapi dengan tegas Gus Dur justru melarang.

Pada saat itu tak ada tudingan FPI membubarkan pengajian, tak ada tuduhan kriminalisasi ulama meski yg dibubarkan adalah majlis Ilmu dan yg dilarang bicara adalah ulama besar yg sdh diakui dunia. Juga tak ada kegaduhan gerakan bela ulama dan Islam dengan demo berjilid2

Bandingkan dg kegaduhan yg terjadi saat ini ketika seorang pembicara agama diminta membuat pernyataan setia pada NKRI seperti yg terjadi pd kasus Felix dan Ustad Abdus Shomad, seolah2 terjadi pelarangan pengajian dan pelecehan ulama. Padahal mereka tdk dilarang kasih pengajian dan badannya juga tdk tersentuh sedikitpun, tapi berita yg tersebar seolah telah terjadi pelecehan ulama, penistaan Islam dan sejenisnya.

Kegaduhan peperti ini sama sekali tidak terlihat saat ajengan Emon dianiaya secara fisik bahkan sampai berdarah-darah di tempat yg disakralkan (masjid), bukan di hotel atau bandara, dan saat melakukan ibadah dzikir bukan saat memberikan provokasi yg membakar emosi ummat. Kelompok yg pernah mengusir Gus Dur ini diam, cep klakep tanpa ada komentar apalagi reaksi.

Terus terang, melihat reaksi kaum daster ini langsung mengingatkan saya pada hubungan antara Gus Dur dengan ajengan Emon. Ayah beliau adalah santri Hadratus Syeikh Hasyim Asy'ari, pendiri NU yg juga kakek Gus Dur. Ini menunjukkan ada kesamaan genealogi sosiologis dan ideologis antara Gus Dur dengan ajengan Emon. Kesamaan ini yg membuat hubungan emosional antara beliau berdua menjadi dekat. Hal itu bisa menimbulkan asumsi bahwa ajengan Emon adalah sama atau bagian dari Gus Dur sehingga kelompok2 yg dulu membenci dan mengusir Gus Dur akan merasa tidak perlu simpati apalagi membela. Mereka menganggap beliau bukan ulama sebagaimana mereka menganggap Gus Dur sebagai kaum liberal, yg layak diusir dan dicaci maki. Dengan cara pandang ini sangat bisa dipahami jika kelompok2 yg selama ini teriak2 bela ulama dan Islam diam dan tak bereaksi terhadap kasus penganiayaan yg menimpa ajengan Emon.

Kedua, kasus ini mengingatkan saya pada tragedi pembantaian di Banyuwangi 1998. Bermula dari issu pembunuhan tukang santet kemudian melebar menjadi pembantaian terhadap kyai2 kampung dan guru2 ngaji warga NU. Berdasar data tim pencari fakta (TPF) PWNU Jatim, korban pembantaian Banyuwangi ini ada 147 orang, bahkan laporan LSM Kompak Banyuwangi mencapai 174 orang.

Saya teringat pada tragedi Banyuwangi karena ada beberapa kesamaan antara kasus Banyuwangi dengan Cicalengka; pertama, sasarannya kyai kampung NU; kedua, terjadi saat menjelang event politik bertensi tinggi, ketiga; pelaku yg tertangkap selalu diindikasikan menglami gangguan jiwa, (bahkan ada yg lgs bunuh diri) sehingga sulit dilacak jejak dan motifnya. Keempat, menjadikan PKI sebagai kambing hitam pelaku pembantaian ulama.

Pada kasus pengusiran Gus Dur kita bisa melihat bagaimana kelompok2 intoleran menjadi ujung tombak untuk melawan ulama yg mencoba merajut keutuhan bangsa, konsisten pada Pancasila sbg perjanjian luhur bangsa. Kaum intoleran menganggap ulama seperti ini sebagai ulama liberal, agen zionis dan tidak membela Islam sehingga layak dihujat, diusir dan dicaci maki.

Meskipun mengaku menerima Pancasila, namun mereka menafsirkannya secara sektarian dan eksklusif, sehingga memberangus dan menegasikan keberagaman yg ada. Dan ini terlihat jelas dalam perilaku politik mereka yg radikal dan intoleran. Dalam kasus Cicalengka, indikasi pelaku sebagai bagian dari kelompok ini terlihat jelas dalam perkataan dan sikap pelaku sebelum melakukan pemukulan (sebagaimana disebutkan dalam kronologi yg beredar di medsos). Peristiwa ini mengindikasikan kaum intoleran semakin brutal dan agresif menyerang ulama dan kelompok teleran dan moderat.

Dalam kasus Banyuwangi saat itu, Gus Dur memahami peristiwa kelam itu sebagai upaya memancing emosi kaum Nahdhiyin agar masuk dalam pusaran konflik horizontal sehingga terjadi kekacauan. Oleh karenanya Gus Dur menahan agar ummat NU tdk terpancing. Dalam situasi ketegangan politik yg makin meningkat seperti saat ini, bisa jadi berbagai kepentingan sedang bermain memanfaatkan situasi yang ada.

Melihat pola dan modus yg terjadi serta mencermati genealogi ideologi dan sosialogi kelompok2 yang menggunakan ayat dan simbol agama dalam gerakan mereka, bisa dikatakan bahwa gerakan kaum intoleran yg hendak memecah keutuhan bangsa masih menjadi ancaman nyata dalam kehidupan berbangsa. Upaya menghancurkan Pancasila masih dilakukan dg segala cara.

Jika merujuk pada referensi sejarah kebangsaan, situasi seperti sekarang ini mirip dengan suasana jelang peristiwa pemberontakan 65, ketika rakyat digiring dalam suasana konflik atas nama revolusi. Saat ini rakyat digiring menuju konflik dg menumbuhkan sikap intoleran menggunakan agitasi atas nama agama dan Tuhan.

Dalam kondisi seperti ini diperlukan kewaspadaan tingkat tinggi dengan kejernihan nalar dan hati agar tidak mudah hanyut dalam provokasi dan agitasi dalam segala bentuknya. Dulu kita waspada atas bahaya laten PKI, ada baiknya saat ini kita waspada terhadap bahaya laten intoleransi.***

El-Zastrouw


EmoticonEmoticon