Selasa, 04 Juli 2017

Bagaimana Cara Mengatasi Demam Panggung?


Seorang teman mengeluh, setiap kali dia tampil berbicara di depan umum, selalu berantakan. Teman ini merasa bahwa persiapannya selalu hilang ketika sudah berada di depan publik. Padahal, jauh-jauh hari dia sudah mempersiapkan diri dengan membaca buku. Tidak hanya itu, dia bahkan mencatat seluruh apa yang akan dia sampaikan.

Persoalan semacam itu lumrah belaka. Terutama bagi orang yang belum terbiasa tampil berbicara di depan orang banyak. Tidak sedikit orang yang langsung bercucuran keringat dingin ketika berada di atas podium. Logat bicaranya mendadak tersendat-sendat, bahkan macet. Tetapi, hal itu menjadi tidak lumrah ketika dialami oleh orang yang sudah puluhan, bahkan ratusan kali, berbicara di depan umum. Guru atau dosen, misalnya, seharusnya sudah tidak lagi ada masalah ketika harus berbicara di depan umum. Toh dia sudah terbiasa tampil di depan peserta didiknya.

Lantas, kenapa kasus seperti disampaikan teman saya tadi masih juga terjadi? Menurut saya, ada tiga kesalahan. Pertama, tidak yakin dengan materi yang sedang disampaikan. Kalau orang yang tampil di depan khalayak ternyata tidak yakin dengan apa yang disampaikan, bisa dipastikan, bicaranya akan terbata-bata. Mau berbicara apa saja, susah. Berasa ada yang salah. Untuk menghindari kasus semacam itu, tentu yang harus dilakukan ialah sampaikanlah materi yang Anda kuasai. Jangan pernah ingin mengutarakan masalah yang muluk-muluk, sementara pemahaman Anda terhadap masalah itu masih setengah.

Ingat, materi yang Anda bawakan, sejatinya, sangat tergantung bagaimana cara Anda menyampaikan. Ibarat kata, susu sekali pun, jika Anda sajikan dalam bak kotor, siapa juga yang mau. Namun, kendati hanya air putih, kalau Anda hidangkan dalam gelas yang bersih dengan senyum merekah, yang meminum pasti hatinya berbunga.

Kedua, grogi. Setiap kita, sedikit atau banyak, pasti memiliki rasa grogi. Penyakit inilah yang kerap merusak suasana. Merasa sudah punya persiapan matang, tetapi kalau penyakit grogi menyerang, semua pasti buyar. Rasa grogi, umumnya, ditandai dengan suara dan tubuh bergetar atau keluarnya keringat dingin.

Bagaimana cara mengatasi serangan grogi ini? Menurut saya, biasakanlah menatap semua hadirin ketika memulai pembicaraan, sebelum mengucap salam. Setelah itu, silakan memulai pembicaraan dengan intonasi yang tidak terlalu cepat dan tidak terlalu pelan. Santai.

Kalau Anda tidak berani menatap muka hadirin, lemparkanlah pandangan Anda ke atas rata-rata kepala mereka. Jangan mengenai mata. Yang lebih penting, merasalah menjadi yang paling pandai dalam forum itu. Anggap saja semua yang hadir saat itu adalah orang-orang awam yang membutuhkan pemahaman dari Anda.

Ketiga, terlalu terpaku pada catatan. Tentulah mencatat materi yang akan disampaikan, tidak salah. Itu bagian dari bentuk persiapan. Apalagi jika yang disampaikan menyangkut data berupa angka-angka atau dalil dari Al-Qur’an maupun hadis. Mencatat mutlak diperlukan, supaya tidak terjadi salah kutip. Tetapi, lebih baik yang dicatat itu hanya poin-poin utama.

Kalau ingin berpidato dengan enak dan luwes, kembangkanlah pikiran Anda ketika berada di atas mimbar. Tidak usah mencatat setiap kalimat yang akan Anda sampaikan. Kecuali Anda memang menyampaikan pidato dengan naskah, seperti pidato kenegaraan atau khotbah.

Kendati harus begitu, cara penyampaiannya tetap harus santai. Kasihlah kesempatan pendengar untuk memahami kalimat-kalimat Anda. Jangan terlalu cepat, apalagi mengotot seperti orang sedang menggusah anjing.

Tidak disangkal, menyampaikan apa pun di depan umum, memang perlu latihan dan pembiasaan. Sudah banyak teori-teori pidato yang ditulis oleh para pakar. Jalaluddin Rakhmat, misalnya, menulis dua buku tentang itu: "Psikologi Komunikasi" dan "Retorika Modern". Keduanya diterbitkan Penerbit Remaja Rosdakarya, Bandung, dan sudah dicetak berulang-ulang.

Silakan baca. Saya kira, kedua buku itu sangat membantu untuk mengasah kemampuan dalam berpidato, selain juga buku-buku yang lain tentunya. Setelah menguasai teorinya, yang lebih penting adalah praktik berulang-ulang. Berpidato itu persis menulis. Keduanya merupakan keterampilan, bukan sebatas pengetahuan. Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas panca indra, yaitu melihat atau mengamati (mata), mengecap (lidah), membau (hidung), mendengar atau menyimak (telinga), merasakan (kulit). Keterampilan diperoleh melalui trial and error.

Tentulah semua ini hanya omong kosong kalau Anda enggan membaca. Ketekunan membaca membuat otak kita penuh wawasan. Jangankan berpidato, lebih-lebih menulis, jika tanpa kebiasaan membaca secara ulet dan istikamah, sekadar mengobrol ringan juga akan berlepotan.

Oleh : M Husnaini


EmoticonEmoticon