Minggu, 16 Juli 2017

Bangsa Yang Rendah Hati


Beberapa waktu lalu, ketika hendak membeli buah di sebuah toko buah, si penjual buah menyarankan, jika ingin mendapat buah yang enak dan bermutu tinggi, saya harus membeli Apel Washington, Jeruk China, Semangka Thailand, Pepaya Bangkok, atau Pisang Filipina. Aneka buah itu, katanya, diimpor dari luar negeri. Tentu saja harganya juga lebih mahal ketimbang buah dalam negeri.

“Indonesia ini memang memiliki daerah penghasil apel, yaitu Malang. Tetapi, apel Malang masih kalah enak dibanding Apel Washington,” tuturnya sambil mempersilakan saya duduk. “Pokoknya, Mas, yang dari luar negeri itu rasanya pasti lebih mantap. Wong berasnya petani Lamongan saja masih kalah mutu kok dengan beras Thailand,” lanjutnya.

Saya tidak ingin mendebat pernyataan penjual buah tadi. Senyatanya, banyak di antara orang Indonesia yang begitu senang dan bangga membeli atau memakai barang-barang produk luar negeri. Bisa dibilang, segala sesuatu yang serba luar negeri dipastikan bagus dan bergengsi. Makanan ringan saja harus bermerek Kacang Shanghai.

Uniknya, merek serba luar negeri itu tidak hanya pada urusan makanan. Jika ingin pakaian bagus, mereknya juga harus luar negeri. Jika ingin penampilan aduhai, kosmetiknya jangan produk lokal. Rekreasi ke Bali kalah keren dibanding ke Singapore atau Australia. Bahkan, sekolah baru terasa mentereng kalau sudah berlabel internasional. Persoalan kurikulum agama minim, tidak menjadi soal.
Namun, tidak usah buru-buru menuduh bangsa kita sebagai bangsa yang tidak punya jati diri, minder, atau semacamnya. Saya lebih merasa sreg dengan bahasa Emha Ainun Nadjib ketika menuliskan kesan dan pandangannya tentang bangsa Indonesia. Seperti diungkap Cak Nun dalam buku “Kagum pada Orang Indonesia”, kita ini adalah bangsa yang rendah hati. Boleh jadi, malah, tidak ada bangsa lain mana pun di belahan dunia ini yang memiliki sikap rendah hati melebihi bangsa Indonesia.

Dengan kata lain, menurut Cak Nun, kita memang tidak mau menyombongkan diri dengan mengakui keunggulan sendiri. Kita lebih senang memuji dan membanggakan kualitas produk bangsa lain. Itulah sikap rendah hati. Yang kita anut adalah filosofi padi. Semakin matang padi, semakin merunduk ke bawah. Kian hebat kita, kian merendah.

Dicontohkan Cak Nun, kalau kita bilang “Silakan mampir ke gubuk saya”, orang akan menyangka yang kita punya itu gubuk beneran. Padahal, rumah kita adalah istana. Kalau kita menawarkan “Mari numpang gerobak saya”, sebetulnya yang kita maksud dengan gerobak adalah Alphard. Jangan-jangan, kalau pemerintah kita terus berutang ke luar negeri itu juga hanya taktik agar dunia menyangka kita miskin.

Prinsip kita, dengan demikian, semakin kita direndahkan dan dihinakan manusia, semakin tinggi dan mulia kedudukan kita di hadapan Allah.

Bangsa Indonesia, kata Cak Nun lagi, punya budaya ewuh pakewuh. Tidak suka pamer keunggulan kepada bangsa lain. Kita justru lebih senang andhap asor. Itulah pendekar sejati. Tidak banyak cingcong. Semakin arif manusia, semakin sedikit bicaranya. Makin sakti seorang prajurit, makin pendek tombaknya.

Bangsa Indonesia adalah bangsa besar, sehingga tidak butuh kebesaran. Orang yang selalu mengejar kebesaran berarti dia masih kerdil. Orang yang masih sibuk mengejar kekayaan adalah orang miskin. Kita tidak demikian. Kalau kita saleh, tidak perlu kita pamer kesalehan kepada orang lain. Jangan heran jika ada Muslim Indonesia yang terang-terangan makan dan minum pada siang hari di bulan Ramadhan, dengan tujuan agar orang lain menyangkanya tidak berpuasa.

Jadi, sekali lagi, jika kita sering mengagungkan semua yang serba luar negeri dan jarang membanggakan milik sendiri, itu hanya gaya saja. Kita memang senang merendah dan suka mengalah. Bahkan, kita tidak risih dibilang bangsa yang bodoh, miskin, korup, pemasok babu, pemalas, tidak punya prestasi olahraga, dan semacamnya.

Itu semua bukan substansi kepribadian kita. Lantas, bagaimana indentitas kita yang sebenarnya, tidak usah dunia tahu. Cukup Tuhan saja.

Oleh : M Husnaini


EmoticonEmoticon