"Bila buku demikian bermutu, tak ada yang lama atau pun yang baru. Yang ada, Anda belum membacanya." Kalimat ini saya baca dalam halaman depan sebuah buku terbitan Zaman, Jakarta. Kutipan dari penerbit bermoto "Menemani Anda belajar Islam dengan ulasan yang mencerahkan dan menggerakkan" ini, menurut saya, sangat inspiratif. Kita didorong untuk rajin membaca buku.
Buku baru bukan buku yang terbit minggu ini, bulan ini, atau tahun ini. Terbit beberapa tahun yang lalu sekalipun, kalau kita belum membacanya, bisa dikatakan buku baru buat kita. Harus kita beli dan baca segera.
Pencinta buku sudah paham soal ini. Karena itu, pencinta buku sering ke lapak-lapak buku bekas dan lama, selain ke toko-toko buku modern. Buku-buku bermutu dan monumental yang tidak lagi dijual di Gramedia atau Togamas, misalnya, sering dapat ditemukan di kios-kios buku di pinggir jalan itu.
Ketika kuliah sarjana dulu, sering saya ke toko buku bekas di Jalan Semarang, Surabaya, yang sekarang bernama "Kampoeng Ilmu". Kendati, alasan saya, waktu itu, adalah tidak punya cukup uang untuk membeli buku di toko-toko buku modern. Saya juga sering ke toko buku "Karya Anda" di Jalan Praban, Surabaya.
Buku memang sumber ilmu. Tidak ada pakar ilmu apa pun yang tidak karib dengan buku. Mulai zaman dulu hingga kiamat kurang dua minggu. Semua ahli ilmu pasti kutu buku. Karena itu, untuk mengonfirmasi keilmuan seseorang, sering saya perhatikan koleksi bukunya, saat saya sowan ke rumah atau kantornya.
Walaupun sekarang adalah era digital yang memudahkan kita mengakses buku-buku elektronik, koleksi buku konvensional tetap menunjukkan seberapa dekat hubungan tokoh bersangkutan dengan buku sebagai sumber ilmu.
Bagi kutu buku, membaca buku dalam bentuk cetak itu lebih membangkitkan dan menggairahkan dibanding buku digital. Aroma lem perekat dan kertas halaman buku cetak potensial menimbulkan daya rangsang tersendiri hingga pembaca mencapai klimaks dan orgasme dalam membaca.
Tidak heran, banyak pakar berkeyakinan, kendati teknologi semakin maju hingga banyak buku dijadikan e-book, buku kertas tetap akan diburu. Saya termasuk yang berpendapat begitu. Jika Anda ragu, silakan tunggu berjalannya waktu.
Indonesia, hingga hari ini, memang belum menjadi masyarakat pencinta buku. Buktinya, jika kita membuka toko buku, bandingkanlah perolehan hasil kita dengan, misalnya, pemilik kedai makanan atau swalayan pakaian.
Kebanyakan orang kita mampu membeli paket internet bulanan atau alat kecantikan, tetapi merasa berat membeli buku rutin setiap bulan. Amatilah pula, mana yang lebih ramai dan diminati antara warung kopi dan perpustakaan?
Marilah berbuat dengan cara dan pendekatan sejauh kita mampu. Melalui berbagai forum dan sarana, kita dorong masyarakat untuk gemar membaca buku. Lebih dari itu, akan lebih baik jika kita hidupkan pula tradisi menulis buku.
Belakangan, pelan-pelan, saya telah membuktikan bahwa untuk dapat senang membaca, kemudian dilanjutkan dengan mampu berkarya buku, yang dibutuhkan hanya seberapa besar kita punya tekad dan mau.
Oleh : M Husnaini
EmoticonEmoticon