Minggu, 02 Juli 2017

Menjadi Apa Pun Kita, Haters Selalu Ada



"Tetap semangat, Mas. Menjadi apa pun kita, haters itu pasti ada. Bahkan, Rasulullah saja banyak hatersnya. Lanjut." Kalimat tersebut disampaikan Dr M Taufiqi untuk menyuntikkan semangat kepada sahabat saya, Didi Junaedi, supaya tetap menulis setelah mengaku dibully di salah grup WhatsApp yang Mas Didi ikuti.

Saya kenal Mas Didi. Dia orangnya sangat istikamah menulis. Apa saja bisa ditulis, sehingga buku karyanya cukup banyak. Karena itu, meski dicela macam-macam, apalagi hanya di grup WhatsApp, tidak akan mampu mengendurkan semangat penulis asal Brebes, Jawa Tengah, tersebut. Namun demikian, dorongan yang diberikan Mr Vicky, panggilan akrab Dr M Taufiqi yang juga pemilik lembaga pendidikan dan pelatihan Bravo VIEC Malang, tersebut menarik direnungkan.

Haters, bahasa Indonesianya, adalah pembenci. Istilah haters begitu mengemuka belakangan ini, utamanya di jagat media sosial. Jadi, ada di antara pengguna media sosial ini yang pekerjaannya adalah berkomentar, bahkan cenderung mencela orang lain. Apa saja yang dilakukan sesama netizen, ada saja yang salah.

Saya sendiri sering melihat orang-orang dengan kapasitas keilmuan mumpuni, dicela begitu saja oleh haters. Kadang, dengan menggunakan kalimat-kalimat kasar yang sangat tidak pantas. Berbeda pendapat tidak lagi menjadi persoalan lumrah, namun justru menggiring kepada sikap sinis yang dilanjutkan menyerang.

Di dunia maya yang penuh dengan perilaku menjengkelkan begitu, hanya orang-orang bermental baja dan berdada lapang yang tidak ikut-ikutan meriang. Media sosial memang sangat bermanfaat, kendati sisi negatifnya juga tidak kecil. Menurut Emha Ainun Nadjib, di antara sisi negatif media sosial adalah membentuk mental pengecut. Karena, orang bebas mengunggah status atau komentar apa saja tanpa khawatir ketahuan siapa dirinya. Jumlah akun-akun palsu pun tidak terhitung jumlahnya.

Fakta itulah yang beberapa waktu lalu mendorong saya untuk menggarap buku "Medsosku Sayang, Medsosku Malang". Buku itu adalah kumpulan tulisan para pengguna aktif media sosial, utamanya Facebook, yang saya sunting. Secara garis besar, buku itu mengajak kita semua untuk memanfaatkan media sosial secara positif dan untuk menebar sebanyak mungkin inspirasi dan manfaat bagi sesama.

Kemudian, ada lagi WhatsApp. WhatsApp yang sangat bermanfaat digunakan untuk komunikasi bareng ratusan orang dalam waktu bersamaan dengan cara membuat grup-grup juga jangan dibayangkan tanpa masalah. Media komunikasi satu ini, Ya Allah, sisi negatifnya sungguh dahsyat.

Justru dari grup-grup WhatsApp, kabar hoax sering bermunculan dan kemudian tersebar luas. Banyak anggota grup WhatsApp, ketika menerima suatu kabar, langsung diteruskan ke grup-grup lain yang mereka ikuti, tanpa terlebih dulu dikonfirmasi validitas kabar yang diterima. Kadang, membaca saja belum tuntas, sudah buru-buru disebarkan, dengan menambahkan kalimat: copas dari grup sebelah.

Selain produksi hoax, grup-grup WhatsApp juga kerap menjadi arena debat kusir. Tidak sedikit grup-grup WhatsApp ditinggalkan anggotanya karena hanya berisi perbantahan tanpa menghasilkan karya nyata, kecuali retaknya hubungan kekeluargaan atau persahabatan. Dalam kaitan itulah, saya kemudian membentuk grup Sahabat Pena Nusantara (SPN) dan Aku Bisa Menulis (ABM). Kedua grup itu, utamanya SPN, berisi penulis-penulis Indonesia. Di grup itu, tidak ada bahasan kecuali masalah karya tulis. SPN malah lebih tertib lagi. Setiap enam bulan, kita pasti kopdar sambil launching buku. Seluruh anggota didorong untuk berkarya buku mandiri, selain juga wajib setor naskah antologi setiap bulan. Di grup SPN, aturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dibahas, sangat jelas. Seluruh anggota grup, tanpa kecuali, tinggal setuju atau keluar.

Selain itu, yang tidak tertulis secara resmi dalam aturan grup SPN, tetapi nyata dalam tindakan, adalah jika dalam setahun ada anggota SPN yang tidak setor tulisan rutin bulanan selama tiga kali, baik berturut-turut maupun tidak, harus rela dikeluarkan dari grup. Komitmen ini sudah dipahami seluruh anggota. Sebab, tujuan gabung SPN adalah untuk menulis dan menghasilkan karya tulis. Tidak ada lain.

Kini, SPN sudah berkembang cepat. Benar bahwa yang berinisiatif membentuk SPN dulu adalah saya. Namun, kemajuan SPN yang sekarang, tentu bukan semata karena saya, melainkan berkat pikiran, tenaga, waktu, bahkan biaya yang dicurahkan seluruh anggota.

SPN bukan grup WhatsApp seperti umumnya. Hubungan antaranggota SPN juga sudah seperti keluarga. Jika ada anggota yang tertimpa masalah atau musibah, tidak sedikit anggota SPN lain yang kemudian sigap membantu meringankan beban penderita. Utamanya jika menyangkut urusan biaya, kendala uang. Masyaallah.

Saya sering terharu oleh ketulusan dan kelapangan hati orang-orang SPN dalam membantu saudara mereka yang sedang kesusahan. Padahal, saya tahu, kebanyakan anggota SPN bukan orang nganggur. Ada di antara mereka adalah mahasiswa, sarjana, master, doktor, profesor, dan berprofesi sebagai aktivis, pendidik, pejabat, politisi, hingga kiai yang mengasuh pesantren.

Di SPN, kesan yang saya tangkap, masing-masing anggota ingin memberi, bukan meminta. Anggota SPN ingin selalu berbuat, bukan mendapat. Dan, fakta ini terlihat jelas ketika SPN sedang punya hajat. Yang kebutuhannya sehari-hari susah pun seolah tidak mau kalah bersedekah.

Jangan heran kalau tidak ada pemateri di acara SPN yang dibayar. Setiap SPN punya gawe, seluruh tempat dan fasilitas acara, selalu ada yang menanggung. Bahkan, kalau ada anggota yang tidak siap datang ke acara karena tidak punya biaya, mengingat jauhnya lokasi acara, misalnya, selalu ada anggota lain yang siap membiayai kendaraannya. Naik pesawat sekalipun. Kopdar SPN di kampus ITS Surabaya beberapa waktu lalu adalah buktinya.

Sebagai penutup, berikut saya kutipkan status Facebook milik Nadirsyah Hosen. Orang Indonesia pertama dan satu-satunya yang menjadi dosen tetap bergelar profesor di Monash Law School, Australia, ini menulis status panjang, antara lain: 
"Medsos membuat orang merasa jadi setara. Hierarki keilmuan tidak lagi dihargai. Setiap orang merasa menjadi pakar."
"Tidak ada orang yang pakar segalanya. Tidak ada orang yang goblok dalam segala hal. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Diskusi saling mengisi." 
"Mari yuk kita diskusi di medsos sesuai kapasitas keilmuan kita. Kita hargai para pakar sesuai bidang masing-masing, sehingga diskusi kita saling mengisi."
"Orang yang tidak menghargai ilmu biasanya tidak berilmu. Orang yang nyinyir sama ilmuwan dan profesor biasanya karena mereka sulit menjangkaunya."
"Ada yang nyamber bahwa seolah saya sombong bicara gelar, dan sombong itu temannya iblis. Hati-hati mengiblis-ibliskan orang lain, Saudara."
"Kalau Anda membantah dan mencaci saya padahal Anda tidak punya otoritas keilmuan, Anda berkilah: Sesama Muslim saling mengingatkan."
"Tapi kalau saya bantah Anda dan tunjukkan otoritas keilmuan yang saya miliki dan raih dengan susah payah, Anda ngeles: Jangan sombong seperti iblis."
"Lebih sombong mana sih, Anda yang membantah tanpa ilmu atau saya yang membantah dengan ilmu? Ilmu itu yang harus jadi ukuran kita berdiskusi."
"Kalau Nabi melarang orang miskin yang sombong, maka saya juga bisa bilang: Anda itu sudah awam, sombong lagi. Jahil murakkab, istilahnya."

Oleh : M Husnaini


EmoticonEmoticon