Film Nyai Ahmad Dahlan |
Dalam sebuah adegan, salah satu anak Kiai Dahlan khusyuk bermain biola. Waktu sudah menunjukkan malam hari. Nyai Dahlan kemudian menghampiri anaknya, dan bertanya apakah dia sudah shalat. Anaknya menjawab belum. Nyai Dahlan lantas meminta anaknya segera menunaikan shalat. Tiba-tiba, dengan sopan, anak usia MI itu menjawab bahwa tidak mengapa shalatnya nanti, sebab toh Isya waktunya panjang.
Di situ, Nyai Dahlan bersikap tegas. Dia rampas biola anaknya itu, sambil menasihati bahwa dirinya dan Kiai Dahlan bangga melihat anaknya terampil bermain biola. Namun, jika biola sampai menjadikan anaknya lupa panggilan shalat, berarti biola telah menjadi tuhan. Sementara, tidak boleh ada urusan di dunia ini yang mengalahkan Allah. Allah di atas segalanya. Tidak ada lagi yang lebih penting dari-Nya.
Anaknya menangis, mengerti akan kesalahannya. Nyai Dahlan, setelah memberikan nasihat, dan tahu respons anaknya telah menyadari kesalahan, segera memeluk anak manis itu. Sungguh, mata saya basah melihat adegan tadi.
Ya, jalan ke surga tidak harus lewat Muhammadiyah. Namun, salah satu ciri Muhammadiyah adalah tegas dalam urusan ibadah dan akhlak. Sejak didirikan oleh Kiai Dahlan pada 18 November 1912 di Yogyakarta, Muhammadiyah langsung fokus memberantas masalah takhayul, bid’ah, churafat (TBC). Sampai sekarang pun, Muhammadiyah tidak pernah main-main dalam urusan beginian.
Dalam wilayah akidah dan ibadah, Muhammadiyah bersifat tajrid bin statis alias hanya mencukupkan diri dari perintah Al-Quran dan contoh dari Kanjeng Nabi. Tidak ada kreativitas dalam wilayah ini. Al-Quran bicara apa, hadisnya bagaimana, itulah yang Muhammadiyah lakukan. Adapun watak tajdid bin dinamis alias terus berkemajuan sesuai irama zaman adalah dalam wilayah muamalah duniawi.
Muhammadiyah, ringkas kata, dapat dikatakan fundamental dalam urusan akidah, namun liberal dalam urusan muamalah. Yang terjadi sekarang, sering kita terbalik-balik. Dalam urusan dunia, kita mandek. Kreatifnya justru sering dalam urusan ibadah. Model pendidikan kita terhadap anak sendiri juga kerap salah kaprah. Kalau anak tidak bisa Matematika atau Bahasa Inggris, luar biasa upaya orangtua mencari tempat kursus. Biaya mahal, tidak menjadi soal. Namun, ketika anak sudah usia belasan tahun tidak hafal doa shalat, gagap membaca Al-Quran, orangtua bersikap tenang-tenang saja. “Toh anak saya bukan alumni pesantren. Jadi, wajarlah,” kilah sebagian mereka.
Di sinilah, sebenarnya, letak kekeliruan fatal umat Islam. Agama dipahami secara sempit, dan seolah tidak ada kaitannya dengan urusan hidup dan kehidupan ini. Padahal, Islam adalah panduan hidup yang lengkap. Saya katakan, kebahagiaan manusia yang sesungguhnya, sejak di dunia hingga akhirat, sangat ditentukan seberapa kukuh dia berpedoman rambu dan petunjuk Allah melalui ajaran Islam.
Karena itu, saya berpendapat, melihat kesuksesan pendidikan anak, yang lulusan pesantren sampai yang jebolan perguruan tinggi, adalah dari ketaatannya menjalankan ibadah. Puluhan tahun mondok di pesantren terkenal dan ditambah kuliah di perguruan tinggi luar negeri, namun jika shalatnya main-main, ngajinya tidak jelas, ke masjidnya ogah, anak demikian tidak pantas disebut sukses pendidikannya.
Andai dia berhasil meraih karier dunia dan menjadikannya kaya secara materi, pastilah hidupnya dipenuhi masalah dan tidak akan bahagia. Sebab, tidak ada ceritanya kebahagiaan muncul dari orang-orang yang sembrono dengan urusan agama. Sudah banyak buktinya dalam Al-Quran. Jika demikian, tugas utama kita, sebagai orangtua dan guru, adalah menjadikan generasi umat yang teguh memegang agama, apa pun bidang keahlian mereka. Ketundukan kepada Allah harus di atas segala-galanya.
Film Nyai Ahmad Dahlan menggedor kesadaran kita. Apalagi, Tika Bravani benar-benar mampu secara apik memerankan Nyai Dahlan seperti sosok yang sebenarnya: ibu, guru, sahabat. Tidak heran, pengajian Sopo Tresno—yang bermetamorfosis menjadi Aisyiyah—itu, perkembangannya justru karena sangat diminati jamaah. Jadi, mulai ibu-ibu buruh batik hingga majikan batik dan kalangan wanita sepuh, ramai-ramai mendatangi Nyai Dahlan untuk minta diajarkan mengaji, membaca, dan menulis.
Harus saya tegaskan lagi, film ini keren. Saya sudah menontonnya. Karena itu, saran saya kepada seluruh warga Muhammadiyah, di mana pun Anda berada, silakan meluangkan waktu untuk ke bioskop. Mumpung film ini masih hangat. Boleh jadi, Anda mendapat inspirasi lain yang lebih jos daripada saya. Selamat tercerahkan.
Oleh : M Husnaini
Oleh : M Husnaini
EmoticonEmoticon