Dialah Anisatul Illiyyin, sebut saja Anis yang paras wajahnya senantiasa menyejukkan dan murah senyum. Karena orangnya supel dan murah senyum inilah, membuat hatiku terkiwir-kiwir dengan dara cantik ini. Ada kisah menarik antara aku dengannya. Tanpa proses pacaran, dijodoh-jodohkan atau hal njlimet lainnya.
Berawal dari nasehat seorang sahabat karib dari Sumenep, agar aku segera menanyakan; apakah dia masih single, sudah punya calon, atau mungkin sudah menikah. Untungnya, aku masih punya nomor hape-nya. Sehingga meski ia sudah lulus dua tahun yang lalu dari kampusku, aku masih bisa melacak keberadaannya.
Kucoba untuk berbasa-basi dan menanyakan kabar lewat SMS kepadanya. Dan ternyata, doi masih single dan belum dikhitbah oleh siapapun apalagi sudah menikah. Lalu, di SMS kesekian kalinya, aku menyatakan bahwa sebenarnya diriku menyukainya sejak ia masih semester III dan aku semester VII. Hanya saja, aku tidak mempunyai keberanian untuk menyatakannya secara langsung waktu itu. Hingga rasa itu kupendam sampai detik ini.
Setelah seminggu berta’aruf dengannya, kuberanikan diri untuk bertanya kepadanya agar aku bisa bersilaturahim kerumahnya. Lama, ia tidak membalas SMS terakhirku. Dua hari kemudian, dia akhirnya membalas dan membolehkan aku untuk bersilaturahim ke rumahnya. Masih ingat dibenakku hingga saat ini. Hari itu adalah hari sabtu, berangkat dari terminal Arjosari Malang jam 3 sore, dan tiba dirumahnya jam 5. Hatiku berdegup kencang ketika Abahnya keluar dan menyalamiku di ruang tamu diikuti oleh Anis dan Uminya disamping Abahnya. Sedangkan Anis, hanya sesekali menatapku sambil malu-malu. Akupun demikian, sesekali melayangkan pandanganku ke dara cantik itu.
Sore itu, kukatakan niatku kepada Abahnya bahwa aku datang dalam rangka menyukai putrinya dan berniat untuk mempersuntingnya. Abahnya kemudian menanyaiku seputar pekerjaan, latar belakang keluargaku dan sebagainya. Setelah lama berbincang, akhirnya waktu maghrib pun tiba, aku berniat undur diri, namun dicegah oleh Abahnya agar sholat maghrib berjama’ah dulu di kediamannya. Setelah itu, Abahnya pun mengizinkanku untuk undur diri dan berpesan agar seminggu lagi aku balik kesini, baik ‘diterima’ maupun ‘tidak’. Beliau memberi jeda satu minggu untuk istikharah ilallaah.
Seminggu kemudian, akupun menepati janji untuk kembali ‘rumah hatiku’ itu. Dengan harap cemas, kucoba untuk tegar dan sabar menerima apapun keputusan dari Sang Abah. Alhamdulillah, niat tulusku untuk mempersunting putrinya diterima dengan tangan terbuka. Abah lantas berkata, “Kapan orangtuamu kemari, nak?”, “Insya allah sebulan lagi, Abah. Tiga minggu lagi saya mau sidang ujian tesis, izinkan saya untuk konsentrasi tesis sebelum orangtua kesini”, jawabku. “Iya. Selesaikan ilmumu sebelum kesini, nak.”. Abah melanjutkan; “Nabi Sulaiman juga demikian, memilih ilmu daridapa dunia seisinya”.
Alhamdulillah... Ujian tesis pun sukses dengan nilai B+. Akhirnya, sebulan kemudian kudatangi lagi rumahnya dengan keluarga besarku. Mulai dari Ibu, Pakde, Budhe, Paklek, Bulek, keponakan, adik-kakak, semuanya ikut meramaikan rombonganku. Ketika Paklek saya, Imam, menyampaikan niat kedatangan kami sekeluarga untuk mengkhitbah putrinya, disambut oleh Pakde Yusuf dari pihak keluarga Pasuruan; “Kami menerima pinangan dari keluarga Jombang”. Hari itu adalah hari yang paling membahagiakan dalam hidupku.
Namun tiba-tiba, Abah memanggilku dan menanyakan, “Nak, di dompetmu ada uang berapa?”. Segera kukeluarkan dompetku, di dalam ada 10 ribu, 20 ribu selembar dan 100 ribu. Abah melanjutkan, “Berapa uang yang akan kau jadikan mahar untuk calon istrimu ini, Nak?”, “Hemmm…100 ribu, Abah.”, kujadikan nominal terbesar sebagai maharnya.
Abah menjelaskan kepada keluarga besarku, bahwa tradisi dalam keluarga beliau adalah menikahkan sirri dulu putra/i-nya dalam rangka membentengi kami dalam ikatan yang tidak halal menjadi halal. Tujuannya adalah kalau kami berdua memesan undangan walimahan, boncengan, jalan berduaan, sudah sah dan halal karena sudah akad, meski sirri. “Mengenai akad resmi dari KUA, itu gampang dan bisa diatur ketika walimatul ursy nanti..”, Abah menjelaskan. Padahal, resepsi walimatul urys masih satu bulan lagi.
Alhamdulillah… Pernikahanku dengan istri tercintaku, mudah dan dimudahkan oleh kedua orangtua kami. Kami bersyukur mempunyai kedua orangtua yang paham agama dan tidak njlimet dalam menentukan hari dan tanggal pernikahan. Menikah adalah proses yang mudah tanpa harus disepelekan, sekaligus merupakan suatu proses yang rumit tanpa harus dibuat sulit.
[Foto saat Wisuda S2 10 Nov 2007. Dua belas hari kemudian, kami melangsungkan Walimatul Ursy]
Oleh : Erryk Kosbandhono
Dosen PPBA UIN Maliki Malang

EmoticonEmoticon