Senin, 27 November 2017

Salman Al-Farisi : Kisah Pengembaraan Mencari Kebenaran Sejati

Suatu kisah pengembaraan yang mengagumkan demi mencari sebuah kebenaran. Itulah sahabat Nabi saw, Salman Al-Farisi. Suatu kisah yang seharusnya kita semua mengetahui dan menjiwai betapa hebatnya perjalanan hidup Salman Al-Farisi. Marilah kita menghayati, Salman Al-Farisi menceritakan pengalamannya selama mengembara mencari agama yang benar. Dengan ingatannya yang kuat, ceritanya lengkap, terperinci dan terpercaya karena ia tulis sendiri. Cerita dibawah ini hasil terjemahan dan intisari dari mahasiswi saya “Choirus Zakinah” dari Kitab Al-Arabiyyah Baina Yadaik Jilid 2 Wahdah 11, Qira'ah Hurrah yang sedikit saya editing EYD-nya:

**************


Kata Salman, “Saya pemuda Persia, penduduk kota Isfahan, berasal dari desa Jayyan. Saya membaktikan diri dalam agama Majusi (yang dianut ayah dan bangsa saya). Saya diangkat menjadi penjaga api yang kami sembah, yaitu tugas menjaga api agar menyala siang malam".

Pada suatu hari ayahku bepergian keluar desa untuk urusan penting. Beliau berkata kepadaku, Hai anakku! Ayah sekarang sangat sibuk. Karena itu pergilah engkau mengurus perkebunan kita hari ini menggantikan Ayah. Aku pergi ke perkebunan dan dalam perjalanan ke sana, aku melewati sebuah rombongan orang-orang Nasrani. Aku mendengar suara mereka sedang sembahyang. Suara itu sangat menarik perhatianku.

Sebenarnya aku belum mengerti apa-apa tentang agama Nasrani dan agama-agama lain. Karena selama ini, aku dikurung Ayah di rumah, tidak boleh bergaul dengan siapa saja. Maka ketika aku mendengar suara mereka, aku bergabung ke mereka untuk mengetahui apa yang sedang mereka lakukan. Setelah kuperhatikan, aku kagum dengan cara sembahyang mereka dan ingin masuk agamanya.

Kataku dalam hati; “Ini lebih bagus daripada agamaku”. Aku tidak beranjak dari rombongan itu sampai petang. Sehingga aku tidak jadi pergi ke perkebunan. Aku bertanya kepada mereka, “Dari mana asal agama ini?”. “Dari Syam (Syria),” jawab mereka.

Setelah hari senja, barulah aku pulang. Ayah menanyakan urusan kebun yang ditugaskan beliau kepadaku. Jawabku, “Wahai, Ayah! Aku bertemu dengan orang nasrani di jalan. Aku kagum melihat mereka sembahyang. Belum pernah aku melihat cara orang sembahyang seperti itu. Karena itu, aku senantiasa menunggui mereka sampai petang.”

Ayah memperingatkanku akan perbuatanku itu; “Hai, anakku! Agama Nasrani itu bukan agama yang baik. Agamamu dan agama nenek moyangmu (Majusi) lebih baik dari agama Nasrani itu!”. Jawabku, “Tidak! Sesungguhnya agama merekalah yang lebih baik dari agama kita.”

Ketika aku memproleh kesempatan, kukirim surat kepada orang-orang Nasrani minta tolong kepada mereka, bila ada kafilah yang hendak pergi ke Syam supaya memberi tahu kepadaku. Tidak berapa lama kemudian, datang kepada mereka satu kafilah yang hendak pergi ke Syam. Mereka memberitahu kepadaku. Lalu aku pergi bersama kafilah itu ke Syam.

Sampai di sana aku bertanya kepada mereka, “Siapa kepala agama Nasrani di sini?”. “Uskup yang menjaga“, jawab mereka. Aku pergi menemui Uskup seraya berkata kepadanya, “Aku tertarik masuk agama Nasrani. Aku bersedia menjadi pelayan Anda sambil belajar agama dan sembahyang bersama-sama Anda.” “Masuklah, anakku..”, kata Uskup.

Aku masuk, dan membaktikan diri kepadanya sebagai pelayan dan belajar agama nasrani. Belum begitu lama aku membaktikan diri kepadanya, tahulah aku Uskup itu orang yang jelek perangainya. Dia menganjurkan umatnya bersedekah dan mendorong agar beramal. Bila sedekah mereka telah terkumpul di tangan Uskup, disimpannya saja dalam perbendaharaannya tidak dibagi-bagikannya kepada fakir miskin sehingga kekayaannya telah menumpuk sebanyak tujuh peti emas. Aku sangat membencinya kerana perbuatannya yang memperkaya diri sendiri itu. Tidak lama kemudian iapun meninggal. Orang-orang Nasrani berkumpul hendak menguburkannya.

Aku berkata kepada mereka, “Pendeta kalian ini orang jahat. Dianjurkannya kalian bersedekah dan digembirakannya kalian dengan pahala yang akan kalian peroleh. Tapi sedekah kalian disimpannya saja untuk dirinya, hanya sedikit yang diberikannya kepada fakir miskin.” Tanya mereka, “Bagaimana kamu tahu demikian?”. Jawabku, “Akan kutunjukkan kepada kalian simpanannya.” Kata mereka, “Ya, tunjukkanlah kepada kami!”

Maka kuperlihatkan kepada mereka simpanannya yang terdiri dan tujuh peti, penuh berisi emas dan perak. Setelah mereka saksikan semuanya, mereka menjadi marah dan mengutuk uskup tersebut. Sesudah itu mereka angkat pendeta lain sebagai penggantinya. Akupun mengabdikan diri kepadanya. Belum pernah kulihat orang yang lebih zuhud daripadanya. Dia sangat membenci dunia tetapi sangat cinta kepada akhirat. Dia rajin beribadat siang malam. Karena itu aku sangat menyukainya, dan lama tinggal bersamanya.

Ketika ajalnya sudah dekat, aku bertanya kepadanya, “Wahai Bapak! Kepada siapa Bapak mempercayakanku seandainya Bapak meninggal. Dan dengan siapa aku harus berguru sepeninggal Bapak?” Jawabnya, “Hai, anakku! Tidak seorang pun yang aku tahu, melainkan seorang pendeta di Mosul, yang belum merubah dan menukar-nukar ajaran-ajaran agama yang murni. Pergilah kau kesana!”

Maka tatkala guruku itu sudah meninggal, aku pergi mencari pendeta yang tinggal di Mosul. Kepadanya kuceritakan pengalamanku dan pesan guruku yang sudah meninggal itu. Kata pendeta Mosul, “Tinggallah bersamaku, anakku.”

Aku tinggal bersamanya. Ternyata dia pendeta yang baik. Ketika dia hampir meninggal, aku berkata kepada nya, “Wahai Bapak, kepada siapa Bapak dapat mempercayakanku seandainya Bapak sudah tak ada?”. Jawabnya, “Anakku yang tercinta… Aku tak tahu orang yang seperti kami, kecuali seorang pendeta di Nasibin. Pergilah kepadanya!”

Ketika pendeta Mosul itu sudah meninggal, aku pergi menemui pendeta di Nasibin. Kepadanya kuceritakan pengalamanku serta pesan wasiat dari pendeta Mosul. Kata pendeta Nasibin, “Tinggallah bersama kami, anakku!”

Setelah aku tinggal disana, ternyata pendeta Nasibin itu memang baik. Aku mengabdi dan belajar kepadanya sampai dia wafat. Setelah ajalnya sudah dekat, aku berkata kepadanya, “Wahai Bapak dan guru spiritualku, maka kepada siapa Bapak dapat mempercayakanku seandainya Bapak meninggal?”

Jawabnya, “Wahai, anakku…  Aku tidak tahu lagi pendeta yang masih memegang teguh agamanya, kecuali seorang pendeta yang tinggal di Amuria. Temuilah dia!”. Aku pergi menghubungi pendeta di Amuria itu. Maka kuceritakan kepadanya pengalamanku dari awal hingga akhir berguru ke Pendeta Nasibin.

Aku tinggal disana sambil mengembala kambing dan sapi. Setelah guruku sudah dekat pula ajalnya, aku berkata kepadanya, “Wahai guru, kepada siapa lagi aku berguru? Dan apakah yang harus kuperbuat?”

Katanya, “Wahai, anakku… Agama ini sudah hampir habis masanya. Aku wasiatkan kepadamu agar merantau ke tanah Arab yang tandus, yang akan muncul seorang Nabi yang diutus Allah membawa agama Nabi Ibrahim yang lurus. Kemudian dia akan pindah ke negeri yang banyak pohon kurma di sana, terletak antara dua bukit berbatu hitam nan tandus. Nabi itu mempunyai ciri-ciri yang jelas. Dia mau menerima dan memakan hadiah, tetapi tidak mau menerima dan memakan sedekah (baca; zakat). Di antara kedua bahunya terdapat cap kenabian. Jika engkau sanggup, pergilah ke negeri itu dan temuilah dia. Dia adalah Nabi yang dijanjikan di kitab suci kita!”

Setelah pendeta Amuria itu wafat, aku masih tinggal di Amuria, sehingga pada suatu waktu serombongan saudagar Arab dan kabilah “kalb” lewat disana. Aku berkata kepada mereka, “Jika kalian mau membawaku ke negeri Arab, aku berikan kepada kalian semua sapi dan kambing-kambingku.” Jawab mereka, “Baiklah! Kami bawa engkau kesana.”

Maka kuberikan kepada mereka sapi dan kambing peliharaanku semuanya. Aku dibawanya bersama-sama mereka. Sesampainya kami di Wadil Qura (sebuah lembah antara Madinah dan Syam) aku ditipu oleh mereka. Aku dijual mereka kepada seorang Yahudi. Maka dengan terpaksa aku pergi dengan Yahudi itu dan berkhidmat kepadanya sebagai budak. Pada suatu hari anak paman majikanku datang mengunjunginya, yaitu Yahudi Bani Quraizhah, lalu aku dibelinya kepada majikanku. Aku pindah dengan majikanku yang baru ini ke Yatsrib. Di sana aku melihat banyak pohon kurma seperti yang diceritakan guruku, Pendeta Amuria. Aku yakin itulah kota yang dimaksud guruku itu. Aku tinggal di kota itu bersama majikanku yang baru.

Ketika itu Nabi yang baru diutus sudah muncul. Tetapi beliau masih berada di Makkah menyeru kaumnya. Namun begitu aku belum mendengar apa-apa tentang kehadiran serta da’wah yang beliau sebarkan. Tidak berapa lama kemudian, Nabi tersebut hijrah ke Yatsrib. Ketika itu aku sedang berada di puncak pohon kurma melaksanakan tugas yang diperintahkan majikanku. Dan majikanku itu duduk di bawah pohon. Tiba-tiba datang anak pamannya mengatakan, “Paman, banyak penduduk Yatsrib berkumpul di Quba’ menyambut kedatangan laki-laki dari Makkah yang menubuatkan dirinya sebagai Nabi.”

Mendengar ucapannya itu badanku terasa panas dingin seperti demam, sehingga aku menggigil karenanya. Aku kuatir akan jatuh dan tubuhku bisa menimpa majikanku. Aku segera turun dari puncak pohon, lalu bertanya kepada tamu itu, “Ada kabar apa? Coba kabarkan kembali kepadaku!” Majikanku marah dan memukulku seraya berkata, “Ini bukan urusanmu! Kerjakan tugasmu kembali!”

Demi keinginanku untuk menemui Nabi itu, aku mengumpulkan uang dari majikanku selama bertahun-tahun supaya aku bisa menebus status budakku kepadanya. Sebulan kemudian, aku bebas dan bisa menebus status budakku dengan sejumlah uang yang kukumpulkan.

Saat menemui Nabi, aku memberikan makanan kepada Nabi itu dengan mengatakan bahwa makanan tersebut adalah sedekahku kepadanya karena sebelumnya aku telah berniat untuk meyedekahkan (men-zakat-kan) makanan itu kepada nabi. Salman melakukan hal tersebut untuk memastikan bahwa Nabi tersebut merupakan Nabi yang dia tunggu selama ini. Nabi Muhammad menerima makanan dari Salman, akan tetapi Nabi tidak memakannya sedikit pun, malah Nabi memberikan kepada para sahabatnya agar mereka memakannya. Melihat hal itu, aku yakin bahwa Nabi yang telah dijelaskan oleh guruku. Aku berkata dalam hati, “Inilah satu di antara cirri-cirinya!”

Kemudian aku pergi meninggalkannya dan kukumpulkan pula sedikit demi sedikit kurma yang dapat kukumpulkan. Ketika duduk-duduk bersama para sahabatnya, kubawa kurma itu kepada beliau. Kataku, “Aku lihat Anda tidak mau memakan sedekah. Sekarang kubawakan sedikit kurma, sebagai hadiah untuk Anda.” Rasulullah memakan buah kurma yang kuhadiahkan kepadanya. Dan beliau mempersilahkan pula para sahabatnya makan bersama-sama dengan dia. Kataku dalam hati, “ini ciri kedua!”

Kemudian kudatangi beliau di Baqi’, ketika beliau mengantarkan jenazah sahabat beliau untuk dimakamkan disana. Aku melihat beliau memakai dua helai kain. Setelah aku memberi salam kepada beliau, aku berjalan mengitari sambil menengok ke belakang bahu beliau, untuk melihat cap kenabian yang dikatakan guruku. Agaknya beliau tahu maksudku. Maka dijatuhkannya kain yang menyelimuti bahunya, sehingga aku melihat dengan jelas cap kenabiannya

Barulah aku yakin, dia adalah Nabi yang dijelaskan guruku dan tertera dalam kitab injil. Aku langsung mendekapnya, lalu kuciumi kulit halusnya sambil berurai air mataku. Seketika itu juga aku berucap dua kalimah syahadat. Nabi tersebut tersenyum bahagia melihatku.

Maka kuceritakan kepada beliau seluruh kisah pengalamanku. Beliau kagum dan menganjurkan supaya aku menceritakan pula pengalamanku itu kepada para sahabat beliau di majlis tersebut.

Oleh : Erryk Kosbandhono
Dosen Bahasa Arab di PKPBA di UIN Malang


EmoticonEmoticon