Oleh : Erryk Kosbandhono
Dosen PPBA UIN Maliki Malang
Tulisan ini muncul karena update status saya beberapa hari yang lalu tentang “Dangdut Koplo” berjudul “Bukak Tithik Jos” yang lagi ngetrend akhir-akhir ini. Sebelum membahas asal-usul Dangdut Koplo, saya jabarkan dulu perkembangan musik Dangdut di nusantara tercinta ini.
Dangdut adalah musik tradisional Indonesia yang pada era 60-an dibawakan oleh Mashabi dan Elia Khadam (baca; artis pertama yang melagukan dan pada masa itu) dan orang menyebutnya Musik Melayu. Pada era 70-an Musik Melayu ini semakin mendapat hati di telinga pencinta musik tanah air khususnya di Jawa dan klimaknya pada tahun 1973 dengan berkibarnya bendera Orkes Melayu (OM) Soneta yang dimotori oleh Rhoma Irama dan ditahun ini pulalah launching album perdana Soneta. Kemunculan Soneta rupanya jadi inspirasi musisi bahkan penyanyi di Indonesia pada masa itu dan sudah barang tentu sampai sekarang, maka muncullah penyanyi seperti A. Rafik, Nur Halimah, Elvi Sukaisi, Mansur S, Evie Tamala dll.
Dari tahun-ketahun, perkembangan industri musik ditanah air semakin menggila, tak terkecuali musik dangdut. Pada era 80 s/d 90-an musik dangdut mulai mengalami metamorfosis, ada Pop Dangdut, Rock Dangdut, Disco Dangdut dan pada akhirnya di era 2000-an booming aliran dangdut baru yang dikenal dengan sebutan “Dangdut Koplo”.
Darimanaasal aliran ini? Dan bagaimana mengetahui Dangdut Koplo itu?
Dangdut Koplo memiliki specific characteristic pada tempo dan permainan gendang. Dangdut Koplo pertama kali dimainkan dalam sebuah komunitas kecil di sebuah daerah pingiran kota Surabaya pada tahun 1993 tepatnya di daerah Girilaya. Dan pada saat itu yang pegang gendang adalah Mas Naryo bahkan saat itu disebut Dangdut Kotekan (musik patrol untuk membangunkan warga di bulan Romadhon pada saat sahur).
Permainan gendang Mas Naryo akhirnya disempunakan oleh Mas Sugeng yang akhirnya menjadi Dangdut Koplo, pada era ini mulailah semual banyak bermunculan musisi Dangdut Koplo hingga akhirnya OM. Avita (Mas Udin yang pada saat itu pegang gendang) yang mengenalkan aliran dangdut yang enerjik pada masyarakat Surabaya dan sekitarnya (baca; wilayah Pantura).
Tapi akhirnya yang paling berpengaruh dan mempengaruhi permainan gendang OM (Orkes Melayu) saat ini adalah Mas Slamet “Palapa”, boleh dibilang permainan gendang Koplo Slamet memang bisa dinikmati, sehingga banyak orang yang salah tafsir dengan mengatakan yang Ngoplo pertama kali adalah Slamet padahal seperti uraian diatas, orang yang pantas dihormati dan di banggakan adalah Mas Naryo kemudian Mas Sugeng, tapi tentu saja tidak mengurangi rasa hormat dan penghormatan kepada Mas Slamet, permainan gendang Slamet tidak bisa dianggap remeh, kelincahan serta kecanggihan memainkan jemari tangan diatas si kulit bundar emang tak perlu diragukan lagi, belum lagi improvisasi dan kecerdasannya dalam mengolah gendang adalah merupakan satu kelebihan dari si Slamet.
Hingga saat ini, Dangdut Koplo diyakini berkembang di pesisir Pantura pulau Jawa. Kenapa demikian? Pantura merupakan sentra perdagangan, perikanan maupun pelayaran antarpulau yang cukup sibuk, dengan aktivitas masyarakatnya yang cukup padat tentu membutuhkan sebuah hiburan rakyat yang murah meriah.
Dari situlah lahir bermacam-macam Orkes Melayu (OM) yang kita kenal sampai sekarang ini seperti:
- OM Palapa
- OM Monata
- OM Sonata
- OM Sera
- OM Mahkota
- OM Mutiara
- OM RGS
- OM Sagita
Kehadiran orkes-orkes melayu inipun langsung mendapat tanggapan yang hangat dari masyarakt Pantura, bagi masyarkat Pantura menggelar hajatan seperti perkawinan, khitanan, peringatan hari besar. Tanpa menyewa Orkes Melayu, seperti makan sayur tanpa garam, serasa kurang lengkap.
Dampak Negatif “Dangdut Koplo” bagi generasi muda
Karena beat Dangdut Koplo enerjik dan bergenre riang, maka ‘mengharuskan’ Si Biduanita ketika diatas panggung bersuara ‘menggoda’ dan bergoyang ‘maut’. Namun terkadang busana minim dan sensualitas goyangan mengalahkan kualitas suara (artinya; suara nomer dua). Perang sawer alias bagi-bagi uang dari penonton pada sang penyanyi sudah menjadi ritual dan ciri khas pertunjukan/show Dangdut Koplo.
Beberapa ex biduanita/penyanyi dangdut koplo yang sudah populer antara lain Inul Daratista dengan Goyang Ngebornya, Dewi Perssik dengan Goyang Dolphinnya, grup sensasional Trio Macan, dan yang baru-baru ini Saskia Gotik dengan Goyang Itiknya. Dan masih banyak lagi biduanita-biduanita seperti itu, yang setiap tahun bisa dipastikan ada regenerasinya.
Karena pertunjukannya di lokasi terbuka, cukup sering terlihat anak–anak kecil belum cukup umur menonton sangat dekat dengan lokasi panggung. Mereka entah paham atau tidak, ikut larut menikmati tarian erotis Sang Biduanita. Jelas, orangtua manapun akan mengatakan kalau itu bukan hal yang baik untuk perkembangan mental Sang Bocah di usia belianya.
Yang menjadi pertanyaan, kenapa “Dangdut Koplo” yang para penyanyinya berpenampilan erotis dan vulgar serta sering rusuh itu tak dilarang oleh pemerintah kita? Mungkin, alasannya karena masyarakat kita umumnya sudah ‘kadung’ mengganggap Dangdut Koplo itu "made in lokal". Jadi, tidak perlu dilarang karena termasuk ‘budaya bangsa’.
Mengutip dari update status kawan saya di jejaring sosial ini; “Hari ini, bolehlah kita katakan Dangdut Koplo yang sedang trend dikalangan masyarakat tingkat ekonomi kelas menengah kebawah, besok atau lusa nanti tak menutup kemungkinan akan muncul jenis musik aliran baru yang tak kalah erotis dan vulgarnya dari Dangdut Koplo ini. Bisa saja yang akan datang, muncul musik Rock Ineks (ecstacy), Jazz Miras, Campursari Alkohol, Keroncong Shabu dsb.
Maka, seyogyanyalah pemerintah (baik pemerintah pusat maupun daerah) mengatur dan menertibkan OM-OM yang berkembang dimasyarakat ini supaya para orangtua tidak was-was dengan anak-anaknya yang masih belia.
Wallaahu a’lam bisshowaab...
EmoticonEmoticon